BERITA UTAMAEDITORIAL

Doktor Beatus, Anak Kampung dengan Segudang Prestasi dan Pengalaman Akademis

cropped cnthijau.png
110
×

Doktor Beatus, Anak Kampung dengan Segudang Prestasi dan Pengalaman Akademis

Share this article
Dr. Drs. Beatus Tambaip, MA
Dr. Drs. Beatus Tambaip, MA

“Kami punya sistem di sana sudah bagus dan mereka menghargai saya sebagai pimpinan, dan saya menikmati di sana. Saya punya kekuasaan dan kewenangan diatur, kita sangat profesional sekali. Saya punya kapasitas untuk itu, bukan karena jabatan. Karena kapasitas saya, mereka menggunakan saya. Contoh kalau S3, itu saya wajib ikut dan ketika menguji, profakban itu selalu kasih saya orang pertama yang harus tanya untuk mahasiswa S3. Dan saya dianggap punya kapasitas untuk itu dan progresnya demikian. Teman-teman selalu merujuk pada apa yang saya tanyakan. Pak rektor kasih saya jabatan asisten I.

“Pengelaman saya di Stisipol membuat saya semakin matang. Ketika saya duduk di sana di tempat yang sudah mantap, istilahnya terbentuk lancar dan tak perlu kita ubah-ubah dan kapasitas menonjol sekali di asisten I. Jadi hitung-hitung datang di Unmus ini, saya sebenarnya tidak tertarik dan sudah nyaman di sana,” aku Beatus.
Akhirnya Beatus Tambaip mencoba masuk dalam perasaan masyarakat anak-anak asli Papua. Rupanya mereka membutuhkan figur yang memahami keadaan mereka untuk maju berkembang. Namun mereka sendiri tidak tahu lewat siapa. Mereka tahu di Unmus, tapi mereka merasa itu bukan rumah mereka. Dia membuat perbandingan dengan Stisipol, dimana anak-anak asli sangat nyaman karena dirinyai mengerti perasaan mereka.

ads

“Pendidikan itu intinya human touch (sentuhan kemanusiaan). Karena kita harus memiliki jiwa pendidik. Mahasiswa asli Papua ini kan dia sudah datang dengan berbagai masalah. Karena masalah yang sudah terlalu banyak akhirnya yang tumbuh itu rasa minder dan kurang percaya diri. Jadi kita harus jadikan kampus itu sebagai rumahnya, sehingga dia rasa nyaman di situ. Karena dia datang dari lingkungan yang terbatas dan sarana prasarana di rumahnya saja tidak mendukung. Jadi dengan keterbatasan di Stisipol, bagi dia nyaman di dalam dan dia berkembang,” tegas Beatus.

Dengan adanya perubahan zaman, lanjutnya, paradigma yang dibangun dalam dunia perguruan tinggi adalah menjadikan kampus dan mahasiswanya dalam satu persepsi melalui komunikasi yang tercipta secara dialogis

“Jiwa pendidik itu harus keluar untuk dialog. Jadi ketika di sana dia (mahasiswa) murung, jauh, di situlah kita datang dengan human touch (sentuhan kemanusiaan). Ketika dia susah kita hadir memberikan peneguhan,” pesannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *