BERITA UTAMAEDITORIAL

58 Tahun Kembalinya Papua ke NKRI, Janji Soekarno Untuk Menyatukan Wilayah dari Sabang Hingga Merauke

cropped cnthijau.png
22
×

58 Tahun Kembalinya Papua ke NKRI, Janji Soekarno Untuk Menyatukan Wilayah dari Sabang Hingga Merauke

Share this article
Foto : Dok.Setneg TRIKORA- Presiden Soekarno diapit Menteri Keamanan Nasional Jenderal, A.H. Nasution (kiri) dan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, Brigjen Soeharto.
Foto : Dok.Setneg TRIKORA- Presiden Soekarno diapit Menteri Keamanan Nasional Jenderal, A.H. Nasution (kiri) dan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, Brigjen Soeharto.

Delegasi Belanda berpendapat bahwa Irian Barat tidak memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia yang lain sehingga mereka menginginkan daerah itu diberikan status khusus.

Namun, delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS).

ads

Dalam pertemuan itu, Arsip Nasional Indonesia mencatat dua pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah lewat negosiasi lebih lanjut antara Kerajaan Belanda dan RIS satu tahun setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Akan tetapi, satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, perundingan mengenai status Irian Barat tidak menemui titik terang.

Arsip Nasional Republik Indonesia dalam publikasinya berjudul Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949—1969 mencatat dua pertemuan telah digelar di Jakarta pada bulan Maret 1950 dan di Den Haag pada bulan Desember 1950.

Dua pertemuan itu bertujuan mengumpulkan fakta mengenai Irian Barat, kemudian akan dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Namun, dua pihak menyerahkan dua laporan berbeda sehingga upaya itu buntu.

Alhasil, Indonesia menempuh jalur konfrontasi politik dan ekonomi, di antaranya memutus hubungan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 15 Februari 1956, membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada tanggal 27 Maret 1956, dan membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada tanggal 15 Agustus 1956.

Indonesia juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda mulai dari maskapai penerbangan, pelayaran, bank, pabrik gula, hingga perusahaan gas.

Setidaknya, ada sekitar 700 perusahaan Belanda atau campuran modal Belanda-Indonesia yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia dengan total nilainya mencapai 1.500 juta dolar AS.

Aksi Indonesia pun dibalas dengan penguatan militer Belanda di Irian Barat, salah satunya dengan pengiriman Kapal Induk Karel Doorman ke perairan Indonesia di wilayah timur.

M. Cholil dalam bukunya Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat (1979) mencatat pengiriman kapal induk itu pun menambah ketegangan hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda.

Puncaknya, Indonesia pun memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.

Konfrontasi Militer

Setelah putusnya hubungan diplomatik itu, Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kian gencar mempersiapkan pasukan perang dan menyusun operasi militer untuk mengusir imperialisme Belanda di Irian Barat.

mengirim sejumlah anak muda dari berbagai daerah di Papua yang pro-NKRI ke Irian Barat.

Langkah itu, menurut M. Cholil, merupakan balasan atas aksi Belanda yang mengusir kelompok masyarakat pro-NKRI serta mendatangkan warga anti-Indonesia ke Irian Barat selama 1950—1960.

Selama periode itu, Belanda mengerahkan sekitar 10.000 polisi di Irian Barat untuk menghalang-halangi warga setempat atau masyarakat di pulau sekitar yang pro-NKRI datang ke Irian Barat.

Belanda juga menyiapkan armada lautnya, seperti kapal induk Karel Doorman, dua buah kapal perusak, dan dua kapal selam di Laut Karibia.

Indonesia membalas aksi Belanda dengan melakukan kunjungan ke sejumlah negara sahabat dan meminta dukungan dari komunitas internasional.

Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H. Nasution, misalnya, di akhir 1960 melawat ke Uni Soviet, kemudian menandatangani perjanjian pembelian senjata.

Uni Soviet saat itu setuju senjata dibeli dengan kredit jangka panjang sehingga tidak terlalu memberatkan bagi perekonomian Indonesia.

Dari Uni Soviet, Indonesia mendapatkan tidak hanya senjata berat, tetapi juga kapal penjelajah Sverdlov, kemudian diberi nama “KRI Irian” dan pesawat peluncur bom jarak jauh Tupolev-16.

Martin Sitompul dalam artikelnya Ongkos Pembebasan Irian Barat yang terbit di Historia.id pada tahun 2020 menulis Tim Logistik untuk Pembebasan Irian Barat bekerja cepat menyiapkan gudang-gudang peralatan perang di pelosok hutan, peralatan tempur, lapangan udara, bahan bakar, bahkan sampai pabrik roti. Pabrik roti itu sengaja dibuat untuk jadi sumber konsumsi para teknisi dari Uni Soviet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *