“Memang untuk sekarang ini kita sudah coba lakukan penertiban, tetapi kita mengalami kesulitan. Ketika mereka sudah bangun lalu kita minta untuk dibongkar, ini kan secara manusiawi kita juga mempertimbangkan itu. Tetapi biasanya kita memberikan kesempatan kepada mereka agar bangunan tetap berdiri, namun ada bagian-bagian melanggar kita tidak memberikan ijin.
Dengan catatan ketika pemerintah membutuhkan areal itu, mau tidak mau mereka harus bongkar terutama daerah-daerah resapan,” tegasnya.
Menurutnya, langkah penertiban yang harus diambil dinas PUPR kedepannya adalah melakukan sosialisasi terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atau pola ruang dengan melakukan pemetaan kawasan yang diijinkan untuk dibangun oleh masyarakat maupun tidak.
“Kita akan sosialisasi pola ruang kita. Mungkin kalau ditetapkan untuk dibangun, ya boleh dibangun di situ. Kalau memang itu daerah resapan, ya jangan dibangun. Masyarakat ini kan, meski kita sudah sosialisasi tapi masih saja melanggar. Memang ada beberapa ruang sudah kita tetapkan untuk pembangunan, seperti di Jalan Noari.
Itu memang sudah ada ruang untuk dibangun. Tapi sebelum dibangun harus dilihat juga dampak lingkungan. Ketika banjir itu kira-kira genangan sampai dimana, perlu penimbunan atau tidak, itu yang harus dikaji. Jangan bangun habis terus jual, lalu orang yang tinggal kebanjiran, itu yang tidak boleh,” ucapnya.
Dia mengingatkan kedepan jika masyarakat membangun rumah harus mengantongi ijin dari kelurahan, distrik dan dinas terkait,p. Dari situ dinas akan mengkaji berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tata ruang, analisa dampak lingkungan oleh badan terkait dan sebagainya.
“Kita di Dinas PU memberikan rekomendasi dan yang mengeluarkan ijin adalah Dinas PTSP. Artinya rekomendasi dan ijin itu berdasarkan kajian-kajian mendalam terkait tata ruang dan sebagainya. Jadi tidak asal bangun sembarang. Selama ini yang terjadi adalah asal bangun tanpa kajian mendalam berdasarkan dampak lingkungan. Itu yang repot,” tandasnya. (hrs)