BERITA UTAMAMIMIKA

Salah Satu Juri Pesparawi XIII Merupakan Lulusan S2 Bidang Liturgi di Roma, Italy

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
8
×

Salah Satu Juri Pesparawi XIII Merupakan Lulusan S2 Bidang Liturgi di Roma, Italy

Share this article
Pastor Berry Rahawarin Pr (kacamata) bersama para juri saat melakukan penilaian pada lomba Paduan Suara Wanita Pesparawi XIII di Graha Eme Neme Yauware
Pastor Berry Rahawarin Pr (kacamata) bersama para juri saat melakukan penilaian pada lomba Paduan Suara Wanita Pesparawi XIII di Graha Eme Neme Yauware

Timika, fajarpapua.com – Pelaksanaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) XIII di Mimika kini telah memasuki hari keempat pada Kamis (4/11). Sejauh ini, setiap mata lomba yang dilombakan, sukses terlaksana.

Pada Pesparawi ini, ada belasan juri yang digunakan dan rata-rata diantara mereka backgroundya merupakan seorang musisi, baik sebagai pemain musik, komponis, pengaransemen, producer, pencipta lagu, pengamat, pengajar musik hingga pelatih paduan suara.

Klik iklan untuk info lebih lanjut

Mereka semua merupakan orang-orang yang sangat berkompoten dalam dunia musik bahkan bukan saja pada lagu dan musik gerejawi namun juga secara nasional (duniawi), dan rata-rata mereka sudah banyak berkelana sebagai juri di berbagai kompotesi.

Namun diantara sekian banyak juri ini, ada satu sosok yang sedikit berbeda diantara semua yang ada. Kesehariannya bukan sebagai musisi namun ia telah lama bergelut dalam lagu dan musik gerejani dan sebagai juri dalam berbagai macam event kerohanian yang diselenggarakan.

Beliau adalah Pastor Bernard Antonius Rahawarin Pr. Sebagai seorang imam dalam gereja katolik, ia juga diminta untuk terlibat sebagai juri pada Pesparawi XIII Se-Tanah Papua di Papua Barat dan Pesparawi di Mimika.

Kepribadiannya yang humble, ramah, kebapaan, murah senyum dan penuh energik ini, memudahkan BeritaMimika untuk mewawancarainya.

Ditemui di Hotel Horison, raut wajahnya tampak lelah usai menjadi juri pada lomba Paduan Suara Perempuan yang digelar di Graha Eme Neme Yauware. Walau demikian, ia mau diwawancarai Selasa (2/11) malam, hingga Rabu pagi pukul 00.30 WIT.

Pastor Berry, demikian sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa sejak masih kecil, ia sudah dikenali akan musik dan lagu-lagu gerejani oleh kedua orangtuanya.

Lahir dari orangtua yang memiliki darah musik, bakat itu terus dibawahnya hingga masuk sekolah Seminari Santo Yudas Thadeus di Langgur. Di sekolah ini ia aktif terlibat dalam paduan suara maupun vokal group sekolah.

Saat melanjutkan pendidikan imam di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado, tepatnya mulai tahun 1990, ia selalu diminta dan dipercaya menjadi juri di berbagai perlombaan musik dan lagu-lagu gereja yang diadakan di Manado.

“Tahun 1990-1991 itu saya sering diminta menjadi juri karena di Manado saat itu banyak festival sehingga selalu dibutuhkan tenaga, jadi sudah katong pi juri. Jadi dimulai pada saat itu untuk skala-skala kecil,” ujarnya mengisahkan.

Selepas itu, ia kemudian diminta menjadi juri untuk kegiatan kerohanian pada skala tingkat keuskupan yang melibatkan dua provinsi yakni Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Termasuk menjadi juri ketika melakukan pastoral di Saumlaki.

“Itu soal juri, sementara soal paduan suara, vokal group dan musik itu sudah mulai sejak SD dan SMP sejak tahun 80-an awal. Tapi mulai efektif itu tahun 85 ke atas saat mulai SMA Seminari,” ujarnya.

Dalam bermusik, ia juga sering tampil sebagai dirigent. Awalnya ia merupakan seorang dirigent umum namun kemudian berkembang menjadi dirigent paduan suara.

Diakui Pastor Berry, ia aktif berkicimpun di paduan suara secara penuh dimulai tahun 2000 hingga ahun 2004/2005. Saat itu ia aktif di Paduan Suara Luman Christy Katedral Ambon.

“Tahun 2005 saya berhenti karena pergi sekolah di Eropa (Italy-red) sehingga saya harus tinggalkan,” ujarnya.

Selepas lulus S2 pada bidang Liturgi di Ateneo San Anselmo Roma – Italia, Pastor Berry kemudian kembali ke Ambon dan mengantar Paduan Suara Luman Christy untuk tampil di Jakarta Convention Centre untuk bernyanyi pada perayaan tahunan Hari Haji Nasional.

“Waktu itu tampil membawakan mars dan himne haji. Itu sekitar tahun 2010. Waktu itu saya sudah kasih tinggal tapi waktu kembali, diminta lagi untuk tangani mereka,” ujarnya.

Selama ini, Pastor Berry juga sering diminta untuk menjadi pelatih Paduan Suara Pesparawi dan Pesparani.

“Hanya karena sekarang saya tidak ada waktu sehingga saya sekarang lebih memilih menerima untuk finishing saja terutama untuk paduan-paduan suara Pesparani tingkat Provinsi Maluku,” ungkapnya.

“Jadi saya sudah tidak memilih lagi untuk melatih dari awal, ini karena masalah waktu yang tidak bisa untuk saya bagi,” lanjutnya.

Pastor Berry sebelum menjadi juri pada Pesparawi XIII Se-Tanah Papua di Manokwari dan di Mimika, ia juga pernah menjadi juri pada Pesparawi Kota Ambon dan Pesparawi Provinsi Maluku.

“Kalau tidak salah itu sekitar tahun 2003/2004. Pesparawi kota kemudian Pesparawi provinsi. Di jaman itu saya juga sering berkecimpun dengan kaliber-kaliber Maluku seperti Pendeta Eli Toisuta, Semy Toisuta dan beberapa lainnya. Saya menjadi teman dekat dengan mereka semua karena terlibat dalam kegiatan LPPD dan kepanitian Pesparawi saat itu,” ulasnya.

Pastor Berry juga terlibat aktif dalam pekerjaan even organiser untuk menyiapkan penyelenggaraan Pesta Paduan Suara Gerejani Nasional (Pesparani) Katolik I yang diselenggarakan di Provinsi Maluku pada 2018 lalu.

“Sejak 2003 saya sudah terlibat di kegiatan Pesparawi sehingga bagi saya ini sudah biasa. Sehingga ketika diminta menjadi juri di Pesparawi XIII di Papua Barat dan Papua di Timika, saya menerima untuk menjadi bagian sebagai juri bersama Bens Leo, Henri Susanto, Harry Anggoman, Agus Amori dan lainnya,” ungkapnya.

Sebelum Pesparawi XIII Se-Tanah Papua dan Papua Barat, ia juga diminta untuk menjadi juri pada kegiatan Pesparani (Katolik) di Provinsi Papua Barat namun ia tidak bisa hadir saat itu, karena di saat bersamaan dilangsungkan juga kegiatan Sinode Keuskupan yang tidak bisa ia tinggalkan.

Pastor juga menceritakan bahwa ia dan beberapa juri lainnya yang bertugas pada saat Pesparawi XIII Se Tanah Papua di Manokwari, kini juga yang menjadi juri di Pesparawi Mimika untuk kategori lomba Paduan Suara Pria dan Paduan Suara Wanita.

Di tim ini, mereka para juri terdiri atas Jasadhin Saragih, Henri Susanto Pranoto, Vonti Sitrona Nahan, Branckly Egbert Picanussa dan Romo Bernard A Rahawarin.

Diakuinya, walau dari mereka berlima kini tinggal berempat karena ada yang dipindahkan sebagai juri di kategori lomba lain pada Pesparawi XIII di Mimika ini, namun mereka memiliki intuisi dan chemistry yang sama dalam penilaian.

“Kita cocok sebagai satu tim karena hal perbedaan itu sangat minim dalam hasil penilaian. Selalu klop. Saya merasa bahwa hubungan kontak batin antara satu dengan yang lain itu ada sehingga dari hasil penilian pribadi, ketika disatukan, perbedaan biasanya minim. Pasti ada perbedaan tapi tidak banyak namun rata-rata tidak sulit untuk disamakan persepsi, kita semua idelalis tapi juga realistis dalam penilaian” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam penjurian Pesparawi XIII ini, unsur penilaian menggunakan sistem musica mundi yang menggabungkan semua unsur penilaian dalam empat hal yakni intonasi (nada dan suara), sound quality, kesetiaan terhadap partiture text dan artistic impression.

“Ini merupakan sistem penjurian yang mendunia. Semua penilaian ini tentang bagaimana bagaimana mereka menyanyikan nada, bagaimana mereka menghasilkan oral voice tanpa mice, kesetian terhadap tex apakah sesuai dengan text atau tidak, apakah ada penambahan not atau tidak, keindahan bernyanyi, ekpresi penafsiran lagu, penghayatan, mimik, custom, koreografer hingga pengaruh terhadap audiens. Ini merupakan beberapa hal dan hal-hal lainnya yang semuanya disatukan dalam unsur penilaian,” jelasnya.

Menurut Pastor Berry, seorang juri juga harus terbuka terhadap setiap protes yang ada. Baik secara terselubung maupun frontal. Juri harus memiliki sikap yang terbuka terhadap berbagai protes yang dilayangan.

“Jadi kalau orang tertutup terhadap protes, jangan jadi juri karena nanti cepat sakit. Kita juga harus terus belajar. Kritikan atau protes itu merupakan suatu keuntungan bagi saya secara pribadi. Karena mungkin apa yang dilihat orang lain, kita tidak melihatnya. Sebenarnya protes juga menjadi masukan bagus bagi kita. Menjuri itu harus punya standar. Jika tidak punya standar, yang tidak bagus bisa saja jadi gold,” ungkapnya.

Sebagai seorang Imam Katolik, ia menuturkan bahwa dalam Konsili Vatikan II telah menggaris bawahi tentang gerakan Oikumene, saling menghargai antar golongan dan saling menghormati. Inipulah yang menjadi alasan mengapa ia mau terlibat sebagai juri pada kegiatan Pesparawi ini.

“Karena kita megakui bahwa di dalam agama dan keyakinan lain pun terdapat mutiara-mutiara berharga yang bisa kita gunakan untuk pengembangan hidup. Dari Konsili Vatikan ke II, saya melihat ini sebagai suatu pengejewataan. Kita bekerja lintas agama dan ini merupakan media riil yang juga dikenal oleh seluruh Indoensia. Jadi kalau sebut Pesparawi, MTQ dan Pesparani, seluruh Indonesia tahu. Untuk saya pribadi, kalau kita bekerja lintas agama seperti ini, kita dapat banyak hal,” ungkapnya.

Untuk studi S3-nya, Pastor Berry Rahawarin seharusnya melanjutkan studinya kembali ke Italy atau Philipina. Namun ia menjelaskan, sejak dua tahun lalu di Indonesia telah ada Prodi S3 theologi kontekstual pertama di Indonesia sehingga ia memilih menempuh pendidikan S3 di bidang Inkulturasi Musik Liturgi pada STFT Widya Sasana Malang.

“Karena ini ilmu praktis sehingga tidak bisa sekolah di luar area. Harus di dalam sehingga bisa langsung mendarat. Kalau di luar negeri maka kita butuh satu tahap lagi untuk mendaratkan yang universal itu,” ujarnya.

Kepada media, Ia juga sedikit mengisahkan tentang musik dan liturgi dalam gereja. Ia mengatakan, musik liturgi mengandung unsur theologis. Musik ini ada dalam Pesparawi dan Pesparani.

Musik liturgi bertujuan untuk membuka partisipasi sebesar mungkin bagi orang untuk dapat berpartisipasi lewat musik dalam perayaan ekaristi.

Sebagai seorang Pastor, baginya musik liturgi merupakan anugerah kharisma Roh Kudus yang memperkaya hidup imamat.

“Tujuannya supaya orang bisa merayakan Kristus sendiri yang dirayakan dalam liturgi berkat bantuan musik dan nyanyian. Mempermudah orang untuk mengalami Tuhan. Bernyanyi dengan indah untuk Tuhan tanpa ada kesombongan iman. Harus selalu ada kesederhanaan dalam kemeriahan itu,” ungkapnya.

Menurut Pastor Berry yang kini juga sebagai dosen pada beberapa sekolah tinggi di Ambon, termasuk sebagai dosen Liturgi dan Musik Liturgi pada STPAK St. Yohanes Penginjil Ambon, menyebutkan bahwa dalam konteks Pesparawi Nasional, potensi bernyanyi dari seluruh daerah di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda.

Semua punya potensi yang sama dengan kekhasan masing-masing namun yang paling menentukan dalam berprestasi adalah pelatih dan proses pembinaan yang dilakukan.

“Karena ini merupakan ajang perlombaan sehingga yang dilihat biasanya adalah kompetisi dan hasil akhir. Namun bagi saya, hal utama Pesparawi adalah proses pembinaannya.
Lomba dan penjurian menjadi sarana tetapi pelajaran hidup itu lebih penting untuk kita dapat,” ujarnya.

Ia juga membenarkan bahwa Papua, Papua Barat dan Maluku termasuk Manado dan Sumatera selalu menjadi juara dalam lomba Pesparawi Tingkat Nasional.

“Itu betul. Papua, Papua Barat, Maluku, Manado dan Sumatra adalah juara-juara. Jadi kalau kita mau jujur, di level nasional, Papua dan Maluku itu bahasa extremnya merupakan ancaman bagi yang lain karena sering juara. Mereka punya kualitas itu sehingga bisa untuk bersaing dengan yang lain,” terangnya sambil menutup wawancaranya karena waktu semakin larut. (Ronald Renwarin/Pesparawi XIII)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *