BERITA UTAMAPAPUA

Sebuah Ironi, Ganti Nama KKB ke KST Tidak Selesaikan Masalah Papua

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
32
×

Sebuah Ironi, Ganti Nama KKB ke KST Tidak Selesaikan Masalah Papua

Share this article
Frans Maniagasi
Frans Maniagasi

Oleh : Frans Maniagasi**
 
Timika, fajarpuacom – Sejak April 2021 Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan sebutan KKB ( Kelompok Kriminal Bersenjata)  dilabeli   Teroris (me) atau disebut Kelompok Separatis Teroris ( KST) menurut  Merdeka Com (13 September2021),  dengan judul Luka di Tanah Papua. Perubahan nama atau sebutan dari KKB menjadi KST ternyata tidak dapat mengakhiri konflik. Dan tidak ada  berpengaruh yang signifikan terhadap solusi  konflik bersenjata di Papua.

Konflik dan kekerasan semakin meninggi grafik kekerasan pun menajam. Perubahan nama dari KKB menjadi KST baru pada level proforma tak substantif menyelesaikan “akar” masalah penyebab konflik bersenjata.

Klik iklan untuk info lebih lanjut

Pertanyaan, mengapa perubahan nama tidak berpengaruh signifikan terhadap penyelesaian akar persoalan konflik Papua. Ada kekeliruan atau kesalahan pergantian penyebutan nama itu sehingga tidak berdampak terhadap penyelesaian soal?   

Tulisan ini akan berupaya menjawab pertanyaan pertanyaan itu dan sekaligus memberikan    rekomendasi untuk Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa agar dapat fokus terhadap penyelesaian konflik bersenjata di Papua.

Jujur mesti diakui pendekatan keamanan dengan berbagai sebutan dan “cap” yang ditujukkan kepada gerakan separatis Papua merdeka sejak wilayah ini menyatu (1963) dengan Republik Indonesia tak terhitung berapa banyak sebutan yang dialamatkan kepada gerakan  pemisahan diri ini.
Dari perspektif  historis politis penyebutan nama  OPM ( Organisasi Papua Merdeka) genuine berasal  dari  aparat keamanan/ ABRI dan Kejaksaan saat itu  terhadap  pemberontakan  yang di pimpin oleh Ferry Awom bersaudara dan Mandatjan bersaudara di Manokwari dan diwilayah kepala burung tahun 1965 ( John RG Djopari,

Pemberontakan OPM, 1995, dan Kibaran Sampari, Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, 2001).
Sebutan OPM berganti menjadi GPK/OPM ( Gerakan Pengacau Keamanan) nama ini bersamaan dengan Operasi Keamanan yang dilakukan oleh aparat untuk meredam gerakan perlawanan bersenjata. Seperti Operasi Wisnu Murti I,II, III ( 1963 – 1966 ), Operasi Bratha Yudha (1966 – 1968), Operasi Pamungkas ( 1970 – 1974), Operasi Perbatasan ( 1977 – 1978), Operasi Gagak I, II, (1985 – 1987), Operasi Kasuari I, II ( 1987 – 1989).

Pada 1998 bersamaan dengan Reformasi Panglima ABRI Jenderal Wiranto meminta maaf kepada masyarakat Papua dan mencabut  status DOM ( Daerah Operasi Militer). Namun tidak berlangsung lama setahun kemudian  1999 kembali Operasi Pengamanan Daerah Rawan pun diterapkan, menyusul Operasi Pengendalian Pengibaran Bendera ( 1999 -2002), Operasi Penyisiran di Wamena ( 2002 – 2004) ( Merdeka Com, 13 September 2021).

Meskipun telah dicabut status DOM, TNI tetap bersiaga di Papua, menurut pendapat Ridwan al Makassary (Merdeka Com, 13/9/2021) pergantian nama tidaklah substantif selain masalah Papua yang memiliki problem kesejarahan juga kekhawatiran terhadap marginalisasi Orang Papua dan problem investasi  yang keberadaannya tidak dirasakan dan dinikmati oleh OAP  Selain itu penyelenggaraan Otsus selama 20 tahun pertama ( 2001 – 2021) dirasakan tidak sukses mendekatkan masyarakat Papua untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Tuntutan pembangunan Smelter oleh  Freeport, keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit, hingga kasus Wabu, Intan Jaya  merupakan amunisi yang memperpanjang konflik  bersenjata di Papua.

Permasalahan yang tak kalah penting yang memicu keberlanjutan konflik dan kekerasan bersenjata di Papua adalah bisnis politik dan keamanan di Papua. Proyek Pemerintah lebih banyak dikerjakan oleh imigran dari luar Papua. Bisnis illegal seperti penjualan senjata dan amunisi oleh oknum aparat keamanan kepada KST turut menambah panjang daftar “menu” konflik dan kekerasan di Papua.
Kekeliruan yang dilakukan oleh Pemerintah tatkala melakukan pergantian nama atau labelin terhadap terhadap kelompok bersenjata adalah tak diikuti dengan perubahan  pendekatan. Padahal  problem kesejarahan dan kekhawatiran ketersisihan sosial atau marginalisasi Orang Papua menunjukkan konflik berlatar etno nasionalisme tak bisa dihadapi dengan senjata ( Ted Robert Gurr, 1993), tapi mesti menggunakan pendekatan politik bukan menggunakan senjata. Senjata tak dapat menyelesaikan konflik bersenjata.

Peluru versus Kesejahteraan
Presiden Jokowi telah mengeluarkan Inpres No 9/2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Bahkan yang aktual adalah perubahaan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dengan UU No 2/2021 disertai dengan Peraturan Pemerintah No 106/2021 dan PP No 107/2021. Paket kebijakan pembangunan ini merupakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua.

Ironinya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan Papua  masih mengandalkan pendekatan keamanan yang dominatif maka hal ini akan saling kontradiktif. Akibatnya tak pernah tuntas masalah Papua. Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan mengalami resistensi karena masalah Papua masih didekati dengan pendekatan keamanan yang kental.

Pendekatan kesejahteraan mengalami resistensi karena soal Papua masih menggunakan pendekatan keamanan. Terdapat  kontradiksi, Presiden melakukan pendekatan pembangunan  berorientasi kesejahteraan pada satu pihak  tapi dilain pihak  masih mengandalkan pendekatan keamanan untuk menumpas pemberontak KST.

Menurut pendapat saya selama pendekatan keamanan masih dominan dan tak ada kompromi dan dialog interaktif dengan berbagai kalangan dan sebutan KST tidak ditinjau maka  selama itu ada dua hal  pertama, bahwa pendekatan pembangunan yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan yang telah dirancang tak pernah akan berhasil dihati dan pikiran  masyarakat Papua. Kedua, sudah saatnya Pemerintah  mesti mengakhiri  pendekatan keamanan dan berinisiatif melakukan upaya politik seperti tesis  Ted Robert Gurr untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Papua. Itulah usulan saya kepada Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa. Menyelesaikan pertempuran tanpa peperangan.

** Frans Maniagasi Koordinator Kelompok Diskusi Sabang – Merauke dan Pengamat Politik     Lokal Papua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *