Timika, fajarpapua.com – Sengketa Pilkada Mimika yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menarik perhatian Pakar Hukum Pidana, Prof Dr Mompang Lycurgus Panggabean SH., M.Hum.
Dalam tanggapannya yang berjudul “Lemparan Untung-untungan”, Mompang mengkritisi gugatan yang diajukan oleh Pasangan Calon (Paslon) nomor 02 dan 03 terhadap hasil Pilkada Mimika.
“Agaknya istilah ‘lemparan untung-untungan’ cocok untuk menggambarkan gugatan yang diajukan Paslon 02 dan 03. Meskipun gugatan Paslon 03 telah ditolak oleh MK, perjuangan Paslon 02 masih berlanjut dalam sidang terakhir pada 11 Februari 2025,” ujar Mompang dalam tulisannya yang dikirim kepada awak media.
Mompang mengungkapkan fakta pertama bahwa Calon Bupati Mimika terpilih, Johannes Rettob (JR), bukanlah Bupati Mimika periode 2019-2024, melainkan Wakil Bupati yang berpasangan dengan Eltinus Omaleng. Selain itu, JR tidak pernah melakukan mutasi pejabat ASN dengan kode SK 824.3 dan 824.4, sementara kode SK Bupati yang sebenarnya adalah 82.1 dan 2. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada indikasi tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) atau pemalsuan akta autentik (Pasal 264 KUHP).
Fakta kedua yang diungkap adalah tidak adanya mutasi secara faktual. Mompang mempertanyakan apakah hal ini termasuk penyebaran informasi elektronik yang melawan hukum. Namun, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, delik tersebut mensyaratkan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, bukan hanya di dunia maya.
Fakta ketiga adalah klarifikasi Sekretaris Daerah (Sekda) Mimika terkait kekeliruan yang telah dibatalkan melalui SK pembatalan. Namun, terdapat kejanggalan antara surat pembatalan dan surat klarifikasi yang rentang waktunya sangat jauh, yaitu 30 Agustus 2024 dan 2025.
Mompang juga menyoroti Surat Edaran Bawaslu Nomor 049/KA Bawaslu PM 06.00/XI/2016 tanggal 20 Oktober 2016 yang menyatakan bahwa penggantian pejabat oleh gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota tidak termasuk kategori yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Pilkada. Namun, hal ini tampaknya tidak cukup untuk meredam gugatan Paslon 02 terhadap Paslon 01.
Empat dugaan pelanggaran dan tudingan kesalahan penghitungan suara, menurut Mompang, ibarat “lemparan untung-untungan” untuk menjatuhkan lawan tanpa alasan yang jelas. Hal ini memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan pertanyaan tentang kedewasaan politik para tokoh masyarakat, tidak hanya di Mimika, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia.
Mompang mengingatkan pentingnya menerapkan prinsip “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, sekti tanpo aji-aji” yang berarti berjuang tanpa massa, menang tanpa merendahkan lawan, dan menjaga lisan serta tindakan dalam kehidupan sosial. Prinsip ini sejalan dengan filosofi adat Kamoro yang mengajarkan saling menghargai dan menghormati orang lain.
“Sebagai penutup, kita harus mengingat esensi Gerakan Tungku Api yang dihidupkan oleh alm. Mgr John Philip Saklil, yang bertumpu pada perlindungan dan pengelolaan sumber hak hidup masyarakat asli,” pungkas Mompang, yang menyebut dirinya sebagai Anak Dusun dari Sentani.
Dengan demikian, Mompang menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai adat dan kesetiaan pada tanah air, melampaui hasrat pribadi dan golongan untuk berkuasa.