Jayapura, fajarpapua.com – Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura mencatat sebanyak 294 anak terpapar tuberkulosis (TBC) sepanjang tahun 2024. Dari total 1.600 pasien yang menjadi sasaran penemuan kasus, 294 diantaranya adalah anak berusia 0-4 tahun.
Dengan tingginya jumlah kasus TBC pada anak, Kabupaten Jayapura kini masuk dalam kategori daerah dengan tingkat temuan kasus lebih dari 100 persen. Oleh karena itu, penanganan TBC akan menjadi fokus utama di seluruh wilayah Kabupaten Jayapura pada tahun 2025.
“Penemuan kasus TBC cukup tinggi, mencapai 93 persen dari target 1.600 pasien yang kami temukan dan obati. Pada tahun 2025, kami akan bekerja sama dengan mitra Gapai Papua melalui pendanaan global untuk meningkatkan layanan TBC dengan pendekatan berbasis masyarakat,” ujar Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, Erward Sihotang, di Sentani, Kamis (6/3/2025).
Lebih lanjut, Erward menjelaskan pencarian kasus TBC akan semakin digencarkan pada tahun 2025 guna mempercepat penanganan melalui edukasi masyarakat serta keterlibatan kader kesehatan di lingkungan sekitar.
“Kami akan melakukan uji coba di delapan distrik melalui dana global bersama mitra. Dengan begitu, jika ditemukan kasus TBC di masyarakat, petugas kesehatan dapat memberikan pengobatan secara maksimal untuk mencegah penyebaran lebih luas,” ungkapnya.
Ia juga mengakui tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan masih belum optimal. Saat ini, hanya 71 persen pasien yang rutin menjalani pengobatan, sehingga masih banyak anak yang terinfeksi TBC di wilayah tersebut.
“Ini menjadi tantangan bagi kami karena masih banyak pasien yang enggan mengikuti pengobatan dengan baik, sehingga risiko penularan tetap tinggi,” bebernya.
Menurut Erward, penularan TBC pada anak umumnya terjadi akibat kontak langsung dengan penderita, termasuk saat bermain dengan teman yang sudah terinfeksi. Namun, tingkat investigasi kontak masih rendah, terutama jika ditemukan satu anak positif TBC.
Ia menambahkan pengobatan TBC membutuhkan waktu cukup lama, yakni sekitar enam bulan. Selama periode tersebut, pasien harus disiplin mengonsumsi obat setiap hari tanpa putus.
“Jika absen satu hari saja, ada risiko resistensi obat, yang berakibat pada pengobatan yang lebih panjang dan sulit,” pungkasnya. (hsb)