Oleh : Dr. Kanisius Jehabut
Di balik megahnya program pembangunan nasional dan kilau narasi “Indonesia Emas 2045”, kita masih menyimpan potret buram yang menganga: anak-anak Indonesia yang terputus dari pendidikan.
Bukan karena mereka tidak cerdas atau malas, tetapi karena kemiskinan dan keterbatasan akses yang membelenggu.
Ribuan anak usia sekolah menengah atas (SMA) setiap tahun gagal melanjutkan pendidikan,
terpaksa membantu orang tua bekerja atau menikah dini, bahkan menganggur tanpa keahlian.
Data dari BPS dan Kemendikbud menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 4 anak Indonesia tidak menyelesaikan pendidikan 12 tahun.
Rata-rata lama sekolah nasional masih berkisar 8,7 tahun, yang artinya banyak warga
hanya menamatkan jenjang SMP.
Di daerah-daerah terluar, seperti Papua, NTT, Kalimantan pedalaman, angka ini lebih rendah lagi.
Ketimpangan pendidikan antarwilayah semakin nyata.
Infrastruktur pendidikan yang timpang ini menciptakan ketidakadilan jangka panjang.
Generasi dari desa dan keluarga miskin tertinggal bukan karena kemampuan,
tapi karena sistem yang tidak berpihak.
Kemiskinan menjadi akar persoalan utama. Banyak keluarga tak sanggup membayar seragam, transportasi,
apalagi kos untuk sekolah menengah.
Walau program beasiswa seperti Program Indonesia Pintar (PIP) telah
menjangkau jutaan siswa, nyatanya angka putus sekolah masih tinggi.
Sayangnya, fasilitas sekolah di banyak tempat pun masih jauh dari layak. Ratusan ruang kelas rusak, guru tak merata, akses internet tak tersedia.
Situasi ini menyisakan pertanyaan besar: di manakah keadilan pendidikan itu berada?
Untungnya, harapan itu kini mulai dirintis melalui program Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo Subianto.
Sebuah model baru pendidikan inklusif berbasis empati sosial, dirancang khusus untuk
menjangkau anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
Apa dan bagaimana konsep besar ini akan menjawab ketimpangan yang kita bahas di atas? Saya akan ulas dalam edisi kedua.