Jayapura, fajarpapua.com – Peringatan 58 tahun beroperasinya PT Freeport Indonesia di Tanah Papua (7 April 1967 – 7 April 2025), sekelompok massa yang tergabung dalam Front Independen Mahasiswa West Papua (FIM WP) bersama sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi damai dengan tuntutan penutupan operasional perusahaan tambang tersebut.
Aksi yang berlangsung di Kawasan Expo Waena, Abepura, Kota Jayapura, ini juga diwarnai dengan orasi dari para mahasiswa dan masyarakat.
Dalam pernyataan sikapnya, massa aksi menyampaikan berbagai tuntutan, salah satunya adalah agar pemerintah pusat mendengarkan suara rakyat Papua dan mengevaluasi keberadaan PT Freeport Indonesia.
Mereka juga meminta perhatian dari Gubernur Papua Tengah, DPRP, MRP Papua Tengah, serta berbagai lembaga kemanusiaan dan advokasi untuk menindaklanjuti aspirasi yang disuarakan.
Sementara aksi Seruan Penutupan Freeport di Kota Nabire juga menampilkan orasi dari seorang Mama Papua yang menyampaikan aspirasi dengan bahasa sederhana namun penuh makna.
Ia mengungkapkan keresahan mendalam atas dampak yang dirasakan masyarakat Papua dari aktivitas pertambangan yang telah berlangsung puluhan tahun.
“Saya sebagai perempuan Papua Tengah merasa sedih melihat mama-mama yang seharusnya menjadi tiang doa di rumah, kini harus turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan,” ujar salah seorang warga yang turut menyaksikan aksi tersebut.
Pembubaran Aksi oleh Aparat
Aksi damai yang dimulai dari Kampus Universitas Cenderawasih dan bergerak menuju putaran taksi Perumnas III sempat dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan TNI-Polri.
Menurut laporan lapangan, aparat keamanan memblokade massa aksi dan memberikan waktu sekitar 45 menit untuk melakukan orasi di tempat.
“Setelah orasi, massa kemudian melanjutkan long march menuju titik kumpul di Expo Waena untuk menyampaikan pernyataan sikap secara damai,” jelas Vian Gobay, salah satu peserta aksi.
Dalam proses pengamanan, beberapa mahasiswa disebut sempat diamankan aparat, memunculkan kritik terhadap cara penanganan demonstrasi yang dinilai represif.
Pihak koordinator aksi menyayangkan tindakan tersebut, mengingat aksi dilakukan secara damai dan dalam semangat menyuarakan hak demokratis warga negara.
Seruan untuk Ruang Demokrasi dan Kemanusiaan
Aksi ini juga membawa pesan penting tentang pentingnya merawat ruang demokrasi di Papua.
Massa menyerukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum tidak hanya menjaga toleransi beragama, tetapi juga menjunjung tinggi toleransi kemanusiaan.
Aksi damai yang digelar hari ini merupakan cerminan keresahan masyarakat terhadap keberlanjutan tambang di tanah Papua, serta harapan agar suara masyarakat, khususnya perempuan Papua, mendapat tempat dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal maupun nasional. (mas)