TRAGEDI kemanusiaan kembali terjadi di Papua. Kali ini, serangan keji dilakukan oleh kelompok bersenjata yang diduga bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap para pendulang emas di Yahukimo.
Dari belasan foto yang beredar, terlihat tubuh-tubuh rakyat kecil pahlawan keluarga itu tercabik-cabik. Darah mereka merubah sungai menjadi merah, meninggalkan bekas pembantaian diantara pepohonan. Sebagian tubuh mereka tak berbentuk, penyiksaan “golgota” yang sangat mengerikan, sebelum akhirnya berubah jadi mayat-mayat yang terbujur kaku.
Aksi brutal yang menewaskan belasan warga sipil ini bukan hanya mengguncang rasa kemanusiaan kita, tetapi juga memperlihatkan bahwa kekerasan telah menjadi jalan yang terus dipelihara oleh sebagian kelompok, tanpa memikirkan nilai nyawa manusia.
Tak ada alasan yang dapat membenarkan pembantaian terhadap warga sipil tak bersenjata, apapun latar belakang politik atau ideologinya. Para pendulang datang dengan tujuan sederhana: mencari nafkah untuk keluarga mereka. Mereka bukan musuh, bukan aparat, bukan ancaman. Mereka adalah rakyat kecil yang menjadi korban dalam konflik yang terus berkepanjangan dan tidak berpihak pada siapapun kecuali pada kekerasan itu sendiri.
Kelompok pembantai seolah lupa bahwa perjuangan yang berlandaskan darah rakyat yang tak berdosa bukanlah perjuangan yang bermartabat. Kekerasan terhadap penduduk sipil tidak memperjuangkan kemerdekaan—itu justru menciptakan luka baru, memperdalam jurang ketidakpercayaan, dan menjauhkan simpati dari dunia luar. Dalam perjuangan apapun, prinsip dasar kemanusiaan tidak boleh dikorbankan.
Namun sayang, ditengah tragedi tetesan darah dan jeritan air mata yang terus tumpah, pemerintah pusat seakan diam membisu. Tidak ada langkah konkrit agar tragedi serupa tidak selalu terulang.
Sejatinya, pemerintah dan aparat keamanan harus merespons dengan pendekatan yang tegas namun tetap berlandaskan pada hukum dan hak asasi manusia. Wilayah-wilayah rawan seperti Yahukimo, Nduga, Puncak Jaya dan lainnya harus mendapat perlindungan maksimal, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dengan membuka dialog dan membangun kehadiran negara yang adil dan berpihak pada rakyat.
Tragedi ini juga menjadi tamparan keras bahwa konflik di Papua belum usai. Pendekatan senjata semata tak cukup. Diperlukan strategi yang komprehensif: pembangunan yang merata, keadilan sosial, dan ruang dialog yang terbuka. Namun, sebelum semua itu bisa terwujud, kekerasan terhadap warga sipil harus dihentikan—oleh siapapun pelakunya.
Tidak ada perjuangan yang berhasil jika dijalankan di atas darah rakyat tak berdosa. Dan tidak ada kemerdekaan sejati jika dibayar dengan penderitaan sesama anak bangsa. Salam.