BERITA UTAMA

Kisah Inspiratif Anak Papua: Ikut Tarkam Bola Keliling Jawa, Ferry Kareth Lunasi Uang Kuliah Hingga Lulus Sarjana

137
×

Kisah Inspiratif Anak Papua: Ikut Tarkam Bola Keliling Jawa, Ferry Kareth Lunasi Uang Kuliah Hingga Lulus Sarjana

Share this article
IMG 20250525 WA0017
Ferry Kareth

Oleh: Jhon Wauwa

KALAU bicara soal gaya—dari snapback sampai sepatu—anak ini jagonya. Ferry Kareth, mahasiswa asal Papua yang kuliah di Jawa, selalu tampil maksimal.

iklan
iklan

Gaya rambut? Jangan tanya. Kalau dia sudah pegang sisir segitiga dan gunting, potongan rapi jadi jaminan. Kami di kos menyebutnya “tangan dewa”—bukan hanya karena kepiawaiannya menata rambut, tapi karena tangan itu juga yang menorehkan perjuangan yang luar biasa.

Saya tulis ini bukan sekadar nostalgia. Ini cerita tentang mental pejuang, tentang anak Papua yang tak mau menyerah di tengah segala keterbatasan.

Semoga jadi penguat bagi siapa pun, terutama mahasiswa rantau yang sedang berjuang menyelesaikan pendidikan. Jangan berhenti. Tetap maju.

Ferry Kareth. Nama yang mungkin biasa saja di telinga orang luar. Tapi bagi kami, dia simbol perjuangan.

Sejak awal kuliah, Ferry aktif bermain bola. Pernah ikut seleksi berjenjang di Persebaya, juga futsal di berbagai tim.

Mahasiswa Papua dari luar kota sering menghubungi dia untuk memperkuat tim di turnamen.

Dan Ferry selalu datang, dengan satu prinsip: “Yang penting sa bisa main bola, sebab itu sa punya hobby, sa percaya itu.”

Tapi di balik hobinya, ada tanggung jawab besar: menyelesaikan kuliah. Tidak mudah. Biaya menjadi rintangan besar. Tapi Ferry tidak menyerah.

Dia keliling Jawa ikut tarkam—turnamen antar kampung—hanya demi satu tujuan: bisa bayar uang kuliah dan terus belajar. Kadang habis main bola, dia balik ke kampus dan bilang,

“Kam, sa ikut tarkam, tapi bayaran hanya cukup untuk bayar kos dan kuliah. Ini sisa, pakai 50ne pesan kopi sudah.”

Dari uang yang pas-pasan itu, Ferry tetap sisihkan buat teman atau adik-adik di sekitar kos. Dia tahu rasa susah, makanya tak pelit berbagi.

Suatu malam, dia ajak saya duduk di depan kos.

“Wauwa, kali ini wauwa dengar saja. Sa mau cerita banyak skalih,” katanya. Lalu dia tunduk, usap air mata, dan mulai bicara:

“Sa paling sayang sa pu mama skalih ee.”

Kami semua diam. Yang biasanya tertawa dan ramai, malam itu kami hanya mendengar.

Dia ceritakan semua tentang mamanya, yang mendidik dia tanpa gelar sarjana tapi dengan cinta yang luar biasa.

“Sa anaknya harus selesai dan sarjana,” katanya sambil menangis. Malam itu, kami semua ikut menangis.

Sebab kami tahu, yang dia perjuangkan bukan hanya masa depan, tapi cinta dan harapan seorang ibu.

Dan dia buktikan. Ferry lulus. Dengan segala kekurangan, dia tidak berhenti. Dengan bola di kaki dan tekad di hati, dia tamat kuliah. Piala dan medali di kamar belakang kos “Moke” jadi saksi.

Di setiap turnamen, tim yang diperkuat Ferry nyaris selalu juara. Bahkan jika timnya tak juara, Ferry hampir pasti keluar sebagai top skor.

Terkadang, peran ayah tak sepenuhnya bisa mengisi kekosongan di hati anak laki-laki.

Tapi kasih seorang mama bisa bertahan seumur hidup. Dia yang mengandung, melindungi, dan terus mencintai tanpa syarat.

Untuk semua Mama Papua di mana saja, cinta kami tak terhingga.

Dan untuk Ferry, terus ukir prestasi di manapun kamu berada. Emas murni harus ditempa dengan keras sebelum bernilai tinggi.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *