Oleh: Mustofa
Redaktur fajarpapua.com
DIBALIK belantara lebat dan sunyi pegunungan Puncak, Papua Tengah, seorang pria berdiri teguh dengan semangat yang tak pernah padam.
Namanya Andi Imannuel Rumbrar, seorang guru asal Biak Numfor yang telah mengabdikan tujuh tahun hidupnya demi mendidik anak-anak dari Suku Wano, suku yang tinggal di salah satu wilayah terisolir di Papua.
Perjalanan menuju kampung tempat Andi mengajar bukanlah hal mudah. Dari kampung halamannya di Biak, ia harus menempuh penerbangan ke Jayapura, kemudian melanjutkan perjalanan udara selama dua setengah jam ke daerah pedalaman.
Namun, tantangan sebenarnya justru dimulai saat ia menginjakkan kaki di lapangan terbang kecil yang hanya sepanjang 400 meter dengan permukaan berbatu, jauh dari fasilitas bandar udara pada umumnya.
“Awal tiba di tempat tujuan itu benar-benar berbeda 180 derajat dengan daerah dimana saya lahir dan besar yaitu Kota Biak. Tidak ada listrik, tidak ada sistem air bersih, tidak ada internet, jalan bagus, toko, bahkan puskesmas pun tidak ada,” kenangnya.
Andi harus belajar hidup dari awal. Untuk kebutuhan air, ia dan warga setempat hanya mengandalkan air hujan.
Pernah dalam suatu masa paceklik, hujan tak kunjung turun. Untuk mendapatkan air bersih, ia harus menempuh perjalanan berjam-jam menuruni gunung demi menemukan mata air kecil.
Dua tahun pertama menjadi masa terberat. Ia harus belajar bahasa Wano, memahami adat dan budaya, serta menyesuaikan pola hidup bersama masyarakat setempat.
Bahkan, komunikasi dengan anak-anak pun tidak bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia karena mereka sama sekali belum mengenalnya.
“Bersyukur waktu awal ada orang yang pernah dilatih misionaris yang bisa membantu saya menerjemahkan,” tutur Andi.
“Butuh waktu dan kesabaran untuk membangun kepercayaan mereka agar saya bisa mengajar.”
Namun kini, hasil jerih payah itu mulai terlihat. Anak-anak yang dulu tak mengerti satu kata pun dalam bahasa Indonesia kini mampu berkomunikasi dengan lancar.
Lebih dari itu, mereka mulai mengenal dunia yang lebih luas melalui pelajaran yang diberikan Andi.
Tak hanya sebagai guru, Andi juga menjelma sebagai anggota komunitas. Ia belajar berburu, berkebun, bahkan mencatat setiap kosakata baru yang ia dengar dari ibu-ibu kampung.
Ia bukan lagi pendatang, tetapi bagian dari keluarga besar Suku Wano.
“Saya mencatat setiap kata yang diucapkan mama-mama saat berkebun. Itu cara saya belajar dan menghargai mereka,” ucapnya.u
Meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas, semangat belajar anak-anak di sana tak pernah surut.
Mereka berjalan tanpa alas kaki, mengenakan pakaian lusuh yang telah mereka pakai bertahun-tahun, namun tetap datang ke sekolah dengan senyum dan semangat yang menyala.
Pukul 07.30 hingga 14.00 WIT, mereka belajar di bawah bimbingan Andi.
Setelahnya, mereka langsungy membantu orang tua di kebun yang berjarak 2 hingga 4 kilometer.
Tapi malam harinya, anak-anak itu kembali mendatangi rumah Andi untuk menanyakan pekerjaan rumah yang belum mereka pahami.
“Tak ada kata lelah dari mulut mereka. Anak-anak ini begitu haus akan ilmu,” kata Andi dengan mata berkaca-kaca.
Andi percaya, di balik segala keterbatasan, anak-anak pedalaman Papua memiliki potensi besar.
Ia ingin dunia tahu bahwa mereka bukan anak-anak yang harus dikasihani, tapi anak-anak yang harus diberi peluang yang sama untuk berkembang.
“Mereka bukan anak-anak bodoh. Mereka adalah anak-anak Papua yang punya daya juang luar biasa. Dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, merekalah yang akan memimpin dan membangun Papua,” tegasnya.
Kini, setelah tujuh tahun mengabdi, Andi tetap bertahan. Ia tak meminta pujian. Hanya satu harapan yang ia titipkan—semakin banyak guru yang bersedia mengabdi di pelosok, dan perhatian pemerintah terhadap fasilitas dasar bagi pendidik di pedalaman semakin ditingkatkan.
“Jangan biarkan guru-guru yang terpanggil ini berjalan sendiri,” ujarnya lirih.
Dari balik kabut Puncak dan sunyi hutan Papua, kisah Andi menjadi cahaya. Ia membuktikan bahwa pendidikan adalah lentera yang mampu menyinari sudut-sudut tergelap negeri ini.
Dan di ujung timur Indonesia, lentera itu telah menyala—dinyalakan oleh seorang guru yang memilih untuk tinggal, belajar, dan mencintai.***