BERITA UTAMAMIMIKA

Uskup Timika Serukan Gencatan Senjata dan Perlindungan Sipil di Tengah Krisis Kemanusiaan Papua

50
×

Uskup Timika Serukan Gencatan Senjata dan Perlindungan Sipil di Tengah Krisis Kemanusiaan Papua

Share this article
Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, didampingi Ketua Saul Wanimbo dan Adolof Kambayong saat jumpa pers.

Timika, fajarpapua.com – Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, menyampaikan keprihatinan mendalam atas memburuknya konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya dan Puncak Papua.

Dalam pernyataan resminya, Uskup Bernardus mengungkapkan bahwa bentrokan antara aparat keamanan (TNI/Polri) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan.

iklan
iklan

Ia menyoroti penggunaan senjata berat seperti pesawat tempur, mortir, bom, dan drone yang tak hanya menyasar kelompok bersenjata, tetapi juga merusak fasilitas sipil.

“Pemukiman warga, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, gereja, pastori, kebun, hingga kandang ternak menjadi sasaran. Masyarakat sipil benar-benar terperangkap di tengah konflik,” tegasnya.

Uskup juga menyinggung insiden di Kampung Tuanggi I (Kabupaten Puncak) dan Kampung Titigi (Intan Jaya) pada 12 Mei 2025, yang menewaskan warga sipil, termasuk seorang penyandang disabilitas mental.

Konflik ini telah memicu eksodus besar-besaran. Data Keuskupan Timika mencatat:

Kabupaten Puncak: 4.469 pengungsi tersebar di 8 distrik (Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, Yugumoak).

Kabupaten Intan Jaya: 1.231 pengungsi tersebar di sejumlah kampung seperti Sugapa Lama, Hitadipa, Janamba, Sanaba, Jalinggapa, dan Titigi.

Pendidikan Terganggu: Sebanyak 216 anak di Puncak Papua terpaksa putus sekolah (109 SD, 107 SMP). Angka ini belum termasuk pengungsi di Nabire dan Timika.

Selain dampak fisik, Uskup Bernardus menyoroti trauma psikologis dan tekanan ekonomi yang dialami warga. Ia menyayangkan kebijakan militeristik di lokasi pengungsian, seperti larangan berkebun dan kewajiban lapor, yang dinilainya memperparah penderitaan dan mengancam ketahanan pangan.

Menurutnya, konflik ini tidak hanya dipicu oleh tuntutan kemerdekaan, tetapi juga oleh isu eksploitasi sumber daya alam dan investasi besar yang mengancam lingkungan serta hak-hak masyarakat adat.

Atas kondisi tersebut, Keuskupan Timika menyampaikan enam seruan moral:

Gencatan Senjata Segera: Mendesak negara dan TPNPB-OPM untuk menghentikan kekerasan dan menciptakan zona aman demi bantuan kemanusiaan.

Perlindungan Warga Sipil: Menuntut jaminan terhadap hak hidup sipil sesuai konstitusi dan hukum humaniter internasional.

Penghentian Kebijakan Represif: Menolak pembatasan kebebasan bergerak dan berkebun di lokasi pengungsian.

Evaluasi Investasi SDA: Menyerukan jeda investasi dan peninjauan ulang izin eksploitasi yang merugikan masyarakat adat.

Kehadiran Pemerintah: Meminta pemerintah pusat hingga daerah hadir aktif memberikan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan.

Dialog Damai: Mendorong penyelesaian konflik melalui dialog politik bermartabat dengan melibatkan pihak ketiga yang netral.

“Kami percaya bahwa dengan itikad baik dari semua pihak, situasi kemanusiaan yang kian memburuk ini dapat dipulihkan,” pungkas Uskup Bernardus, mengakhiri pernyataan dengan harapan akan campur tangan Tuhan. (moa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *