Timika, fajarpapua.com – Masalah pengelolaan dan sertifikasi tanah di Kabupaten Mimika kian kompleks dan dinilai berpotensi memicu konflik horizontal.
Anggota DPRD Mimika, Anton A. Niwilingame, mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar dalam proses penerbitan sertifikat tanah melibatkan tokoh adat sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan kearifan lokal.
Dalam keterangannya, Anton yang juga merupakan anak adat, menekankan pentingnya merujuk pada sejarah pembagian wilayah yang telah disepakati oleh leluhur masyarakat Mimika.
“Dulu orang tua kami telah menetapkan batas-batas wilayah; mana yang menjadi hak masyarakat adat, mana untuk pemerintah, dan mana untuk perusahaan. Ini harus dihormati,” ujarnya.
Ia menambahkan, hadirnya perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia serta program transmigrasi nasional telah mengubah wajah demografi dan tata ruang Mimika.
Namun, sejak awal, wilayah transmigrasi seperti SP1 hingga SP13 dirancang sebagai bagian dari visi besar untuk memajukan Mimika menjadi kota metropolitan yang modern.
“Sebagian dari harapan itu sudah terwujud dengan hadirnya Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua Tengah, meski ibu kota provinsi kini berada di Nabire,” ungkapnya.
Anton menyoroti maraknya kasus sertifikat ganda yang muncul akibat proses pengukuran dan penerbitan sertifikat tanah yang tidak memperhatikan batas-batas adat.
“Banyak sertifikat terbit hanya berdasarkan peta udara, seperti dari Google, tanpa turun langsung ke lapangan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih sertifikat yang memicu konflik,” tegasnya.
Ia juga menuding keberadaan makelar tanah sebagai pihak yang memperkeruh situasi. Mereka, kata Anton, kerap mengklaim lahan secara sepihak tanpa melalui proses adat.
“Yang merusak daerah ini adalah para makelar tanah. Mereka ambil tanah hanya dari peta udara, lalu muncullah sertifikat ganda. Masyarakat adat jadi korban,” ujarnya.
Untuk itu, Anton mendesak BPN dan Pemerintah Daerah Mimika agar lebih teliti dan tegas dalam proses sertifikasi tanah. Ia mengusulkan beberapa langkah konkret:
- Verifikasi Lapangan yang Ketat
Setiap penerbitan sertifikat harus berdasarkan data akurat dan hasil verifikasi langsung di lapangan, bukan sekadar peta citra udara. - Libatkan Lembaga Adat
Proses pengukuran dan penerbitan sertifikat wajib melibatkan tokoh adat dan semua unsur terkait, guna menjamin keabsahan klaim kepemilikan. - Hormati Surat Pelepasan Hak Adat
Sertifikat tanah harus mengacu pada batas-batas wilayah adat yang tercantum dalam surat pelepasan hak adat yang sah dan jelas (utara, selatan, timur, barat). - Tolak Monopoli dan Perampasan Hak
Ia menegaskan pentingnya keadilan dalam pengelolaan tanah. “Hak orang lain harus diberikan, jangan dimonopoli, jangan diambil. Kita harus hidup berdampingan,” ujarnya.
Anton menekankan, Mimika adalah wilayah yang menjadi harapan banyak orang. Oleh karena itu, pengelolaan tanah yang adil, transparan, dan menghargai hak serta sejarah masyarakat adat menjadi kunci penting untuk mewujudkan Mimika sebagai kota metropolitan yang damai dan berkeadilan.
“Penerbitan sertifikat tanah tidak boleh lagi menjadi sumber konflik baru,” pungkasnya. (moa)