Timika, fajarpapua.com- Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, resmi memerintahkan penutupan seluruh aktivitas penambangan galian C (pasir dan batu) di tengah Kota Timika.
Penutupan ini dilakukan karena aktivitas tersebut dinilai merusak lingkungan dan bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berlaku di Mimika.
“Lokasi itu sebetulnya diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata. Kami sudah meninjau langsung, pengelola cukup kooperatif. Sekarang kami menunggu tindak lanjut bersama pemerintah daerah Mimika,” jelas Nawipa pada hari Jumat.
Perlu dicatat bahwa hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Papua Tengah—yang baru terbentuk sejak 2023—belum pernah menerbitkan izin galian C resmi; izin-izin yang ada merupakan warisan dari Provinsi Papua sebelumnya .
Sejalan dengan hal itu, Bupati Mimika, Johannes Rettob, menegaskan aktivitas galian C di kawasan Kampung Hangatji—terutama dekat Jembatan Selamat Datang SP2 dan area belakang GOR Futsal SP2—telah menimbulkan berbagai dampak negatif.
Ia menyoroti potensi longsor di bantaran sungai dan risiko banjir bandang yang kian meningkat, yang memperparah rusaknya lingkungan .
Sebelumnya Bupati Rettob juga menyebutkan aktivitas galian C telah menimbulkan genangan air di sejumlah titik yang menjadi sarang nyamuk Anopheles, pemicu malaria.
“Kasus malaria meningkat signifikan di Timika akibat genangan air dari bekas galian. Ini mengancam kesehatan masyarakat,” tegas Rettob.
Selain itu, Pemkab Mimika sejak 2021 telah menerbitkan Instruksi Bupati Nomor 5 Tahun 2021 yang melarang aktivitas galian C di dalam kota.
Namun, izin usaha tetap dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua Tengah melalui sistem Online Single Submission (OSS) tanpa koordinasi dan kajian lokasi di lapangan.
Hal tersebut menimbulkan dilema bagi Pemkab Mimika yang tidak memiliki kewenangan langsung menghentikan aktivitas berizin resmi.
DPRD Mimika juga menyoroti persoalan ini. Sejumlah legislator mempertanyakan keberlanjutan aktivitas galian C di tengah kota, meski wilayah tambang telah dialihkan ke Sungai Iwaka.
Mereka mendesak adanya transparansi dalam penerbitan izin dan penegakan hukum yang konsisten.
Penutupan ini diharapkan mampu menekan angka malaria, mencegah banjir dan longsor, serta mengembalikan tata ruang kota sesuai peruntukannya.
Konflik kewenangan antara provinsi dan kabupaten dalam penerbitan izin galian menegaskan perlunya sistem perizinan yang lebih terintegrasi dan berbasis kondisi nyata di lapangan. (red)