Timika, fajarpapua.com – Bupati Mimika Johannes Rettob angkat bicara terkait polemik lahan di Pelabuhan Pomako yang berbuntut pada penyegelan peti kemas yang digunakan tiga perusahaan untuk berkantor oleh PT Bartuh Langgeng Abadi.
Bupati menjelaskan, sejak awal Pemerintah Kabupaten Mimika telah membeli tanah seluas 500 hektare untuk pembangunan pelabuhan.
Dalam surat penyerahan tanah terhadap perbedaan persepsi. “Dalam surat penyerahan tanah kepada pemerintah ditulis tanah tersebut perbatasan sebelah utara barat laut semua berbatasan dengan laut, mungkin pengertian masyarakat pada saat itu yg dibilang sungai adalah laut, padahal sebenarnya itu adalah sungai dan tanah itu ada di tempat yang sekarang ini,” kata Bupati Rettob kepada fajarpapua.com, Rabu (10/9).
Dikemukakan, karena kepentingan pelabuhan, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan membangun dermaga di atas tanah 500 hektare itu, kemudian jalan nasional dari Timika menuju pelabuhan juga dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan selesai tahun 2004.
Seiring perkembangan, muncul klaim kepemilikan dari sejumlah pihak sehingga sertifikat tidak bisa diterbitkan. Hal itu diperparah dengan status tanah yang masuk kawasan hutan lindung, sehingga Pemkab harus mengajukan perubahan status lahan ke Kementerian Kehutanan. Dari proses itu, pemerintah berhasil menurunkan status lahan dan memperoleh sertifikat untuk 11,7 hektare yang kini digunakan sebagai depo kontainer, kantor polisi, KP3U laut, warung, gudang, hingga area parkir.
Namun kemudian PT Bartuh Langgeng Abadi menggugat ke PTUN Jayapura dan memenangkan perkara, sehingga sertifikat 11,7 hektare milik Pemkab Mimika dibatalkan. Gugatan pemerintah hingga Mahkamah Agung pun tetap kandas. “Keputusan pengadilan menyebutkan tanah tersebut milik PT Bartuh Langgeng Abadi. Sertifikat pemerintah diminta untuk dicabut,” jelasnya.
Meski begitu, Bupati menegaskan fungsi pelabuhan tetap berjalan normal. “Penyegelan yang dilakukan PT Bartuh bukan terhadap pelabuhan, tetapi kantor tiga perusahaan peti kemas. Aktivitas kapal dan bongkar muat di pelabuhan berjalan seperti biasa,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan muncul karena tidak ada kesepakatan antara PT Bartuh dengan tiga perusahaan peti kemas terkait penggunaan lahan depo. Hal itu membuat ketiga perusahaan enggan menurunkan kontainer karena khawatir bermasalah. “Solusinya sederhana, tiga perusahaan peti kemas duduk bersama PT Bartuh Langgeng Abadi, buat perjanjian, selesai,” ujar Johannes.
Bupati juga menegaskan TKBM tidak punya kaitan langsung dengan masalah lahan. “Mereka bekerja bukan hanya untuk kontainer, tapi juga untuk kapal penumpang dan kargo lainnya. Jadi tidak ada alasan sampai harus melakukan pemalangan,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemerintah sudah berupaya maksimal mengurus status tanah hingga sertifikat, meski selalu terkendala. “Jangan sampai kepentingan pribadi, golongan atau kelompok justru merusak kepentingan yang lebih besar di Kabupaten Mimika,” pungkasnya.(fan)