BERITA UTAMAMIMIKA

Opini Redaksi : Jika Freeport Tutup, Apa Jadinya Ekonomi Mimika?

46
×

Opini Redaksi : Jika Freeport Tutup, Apa Jadinya Ekonomi Mimika?

Share this article
Para pekerja PT Freeport Indonesia

PERISTIWA longsoran lumpur basah di tambang bawah tanah block cave Grasberg Tembagapura mengakibatkan operasonal tambang PT Freeport Indonesia berhenti total. Memang, kondisi ini bukan peristiwa baru. Namun volume longsoran yang sangat besar mencatatkan peristiwa kali ini sebagai yang pertama terjadi di tambang emas dan tembaga terbesar ketiga di dunia itu. Lalu apa konsekuensinya ?

Tidak bisa dimungkiri, PT Freeport Indonesia adalah urat nadi ekonomi Kabupaten Mimika. Data resmi menyebut, sekitar 68 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Mimika ditopang oleh aktivitas Freeport. Bagi Provinsi Papua, kontribusinya mencapai 34 persen.

Lebih jauh, Freeport juga menjadi penyumbang terbesar bagi pendapatan negara dan daerah. Tahun 2024 saja, perusahaan ini menyetor Rp7,73 triliun kepada pemerintah pusat dan daerah, dengan Kabupaten Mimika menerima bagian sekitar Rp1,92 triliun. Angka itu bukan kecil, melainkan bahan bakar utama roda pembangunan di Tanah Amungsa.

Pertanyaan sederhana muncul: apa jadinya jika Freeport suatu hari berhenti beroperasi di Mimika?

Jawabannya, tentu saja, guncangan besar. Hilangnya Freeport berarti hilangnya dua pertiga denyut ekonomi kabupaten. PDRB anjlok, penerimaan daerah merosot, dan belanja publik ikut terpangkas. Ribuan pekerja—baik karyawan langsung maupun kontraktor dan pelaku usaha kecil—berpotensi kehilangan mata pencaharian. Efek domino akan terasa ke mana-mana: dari restoran, hotel, hingga usaha kecil di pinggir jalan. Tidak berlebihan jika dikatakan, penutupan Freeport sama artinya dengan krisis ekonomi Mimika.

Selain aspek ekonomi, dampak sosialnya juga mengkhawatirkan. Penurunan daya beli masyarakat akan memperlebar jurang kemiskinan. Layanan pendidikan dan kesehatan yang selama ini banyak terbantu oleh program-program sosial Freeport bisa terganggu. Tidak tertutup kemungkinan muncul gelombang migrasi keluar daerah, bahkan potensi ketidakstabilan sosial.

Namun, apakah artinya Mimika harus pasrah dan menggantungkan masa depan hanya pada tambang? Tentu tidak. Justru inilah momentum untuk membicarakan serius soal diversifikasi ekonomi. Sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata bisa menjadi alternatif. Industri pengolahan lokal bisa digarap agar nilai tambah sumber daya tidak hanya dinikmati di luar Papua. Pemanfaatan infrastruktur yang sudah dibangun Freeport—jalan, listrik, air bersih—dapat diarahkan untuk menopang sektor baru.

Kuncinya ada pada perencanaan dan keberanian politik. Pemerintah daerah tidak boleh menunggu sampai pintu tambang tertutup untuk mulai bergerak. Transisi ekonomi harus dipersiapkan sejak sekarang, dengan melibatkan masyarakat lokal, dunia usaha, dan pemerintah pusat. Kalau tidak, mimpi tentang Mimika yang sejahtera setelah tambang akan tinggal mimpi.

Freeport mungkin tidak akan selamanya di Mimika. Cadangan bisa habis, kontrak bisa berakhir, atau situasi bisa berubah. Yang perlu kita tanyakan sejak dini: apakah ekonomi Mimika siap berdiri di atas kakinya sendiri ketika hari itu tiba?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *