CINTA Laura Kiehl kembali menjejakkan kakinya di Papua. Bukan untuk pertama kalinya, tetapi perjalanan keduanya ke tanah timur Indonesia justru menjadi titik balik yang jauh lebih emosional dan personal.
Selama lima hari berada di Kabupaten Asmat, pandangannya tentang hidup, kenyamanan, dan makna “kemewahan” mengalami perubahan besar.
“Ini kedua kalinya aku datang ke Papua. Dan somehow, rasa cinta aku makin dalam,” tulis Cinta. Ada kejujuran dalam kalimat itu—kejujuran yang lahir dari pengalaman langsung melihat keteguhan hidup masyarakat di wilayah yang serba terbatas, namun kaya akan nilai dan ketulusan.
Arti Kemewahan yang Sebenarnya
Bagi banyak orang, kemewahan berarti fasilitas lengkap: AC yang dingin, Wi-Fi cepat, hotel nyaman, atau akses modern dalam genggaman. Tapi bagi mereka yang hidup di pedalaman Papua, definisinya jauh berbeda.
“Papua ngajarin aku bahwa kemewahan bukan tentang AC atau Wi-Fi,” tulis Cinta.
“Kemewahan adalah hujan yang turun pas kamu butuh air bersih. Kemewahan adalah perahu yang sampai dengan selamat. Kemewahan adalah anak-anak yang bisa sekolah walaupun dengan banyak keterbatasan.”
Di Asmat, hujan bukan sekadar cuaca—ia adalah sumber kehidupan. Perahu bukan hanya alat transportasi—ia adalah keselamatan. Sekolah bukan sekadar gedung—ia adalah harapan.
Pengalaman itu menampar kesadaran banyak orang yang terbiasa hidup dengan fasilitas tanpa henti.
Sebab jika hal-hal sederhana seperti itu dianggap “kemewahan” di Papua, maka apa yang dimiliki masyarakat perkotaan setiap hari sejatinya adalah privilege.
Cinta mengajak semua orang untuk berhenti sejenak dan melihat ulang hidupnya.
Air yang mengalir hanya dengan memutar keran.
Listrik yang selalu menyala.
Jalan darat yang bisa dilintasi kapan saja tanpa perlu menunggu pasang surut air.
Akses internet yang hadir setiap detik.
“All of that? Privilege.”
Sebuah pengingat bahwa apa yang tampak biasa di kota-kota besar, bisa jadi adalah kemewahan yang sangat sulit dicapai oleh masyarakat di tempat lain. Kesadaran itu, menurut Cinta, bukan hanya untuk disyukuri—tetapi juga ditanggung jawabkan.
“Dan kalau kita punya privilege itu, kita punya tanggung jawab. Untuk gak disia-siakan. Untuk gak kita anggap remeh. Dan kalau bisa, untuk dibagi dengan orang-orang yang gak seberuntung kita.”
Bagi Cinta, perjalanan ke Asmat bukan sekadar kunjungan, tetapi sebuah pengingat moral: bahwa kelebihan yang dimiliki seseorang memiliki nilai lebih besar ketika dibagikan. Entah lewat pendidikan, kesempatan, atau empati yang diterjemahkan dalam aksi.
Papua yang Mengajarkan, Menyentuh, dan Mencintai Kembali
Cinta menutup refleksinya dengan kalimat yang menggambarkan betapa dalam hubungan emosional yang terbangun selama lima hari itu.
“Thank you, Papua.
For teaching me.
For grounding me.
For loving me back in your own quiet way.”
Papua, dengan segala kesunyian, kesederhanaan, dan keteguhannya, telah memberi pelajaran yang mungkin tak bisa ditemukan di tempat lain. Lima hari di Asmat membuat Cinta pulang dengan pandangan baru tentang hidup—lebih rendah hati, lebih menghargai, dan jauh lebih mencintai Indonesia dari pinggir timur yang selama ini sering terlupakan.
“Sampai bertemu lagi,” tulisnya.
Sebuah janji yang rasanya bukan sekadar kata-kata.***
