BERITA UTAMAMIMIKA

Diantara Gunung, Lembah dan Garis yang Diperebutkan: Luka Tapal Batas Mimika–Deiyai-Dogiyai dan Masa Depan Papua

66
×

Diantara Gunung, Lembah dan Garis yang Diperebutkan: Luka Tapal Batas Mimika–Deiyai-Dogiyai dan Masa Depan Papua

Share this article

Penulis : Mustofa
(Redaktur fajarpapua.com)

DIJANTUNG Papua, di antara lembah yang sunyi dan gunung yang seakan menjaga langit, hidup sebuah ironi yang terus berulang.

iklan

Suara lantang tentang kemerdekaan yang diproklamirkan sebagian orang Papua ternyata berdampingan dengan luka yang justru ditorehkan oleh tangan-tangan mereka sendiri.

Di balik mimpi tentang kebebasan dan penentuan nasib sendiri, terselip kenyataan pahit bahwa hak sesama anak Papua kadang justru dirampas oleh saudara sendiri.

Sengketa tapal batas antara Kabupaten Mimika, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiyai yang dalam beberapa tahun terakhir memanas adalah salah satu cermin paling jelas dari ironi itu.

Tanah, yang semestinya menjadi sumber kehidupan dan harga diri Anak Asli Papua berubah menjadi arena sengketa yang memecah persaudaraan, memantik konflik adat, dan bahkan melahirkan bentrokan fisik.

Peta yang Tidak Pernah Selesai

Secara administratif, peta pemerintah membagi wilayah Mimika, Deiyai dan Dogiyai dengan batas yang ditetapkan melalui aturan pusat.

Namun peta adat ternyata menyimpan cerita berbeda.

Bagi masyarakat Mimikawe, tanah-tanah yang kini dipersoalkan oleh “Saudara Papua-nya” telah mereka kuasai turun-temurun.

Tapi bagi sebagian kelompok di Deiyai dan Dogiyai batas itu justru dianggap tidak sah karena tidak melibatkan musyawarah adat sejak awal.

Perbedaan persepsi inilah yang menjadi akar sengketa. Garis batas administratif dan garis batas adat berjalan pada jalur masing-masing, saling bertabrakan tanpa penyelesaian.

Sengketa batas ini telah dibahas berulang kali oleh pemerintah kabupaten, dan bahkan ditindaklanjuti dengan permohonan Penetapan Ulang Batas oleh pemerintah Kabupaten Deiyai ke Kementerian Dalam Negeri. Namun polemik tidak surut—justru melebar.

Ketika Konflik Tak Lagi Sekadar Peta

Sengketa yang awalnya administratif, beberapa kali berubah menjadi konflik fisik pada 2024 hingga 2025.

Sejumlah insiden bentrokan menandai betapa rentannya situasi di perbatasan Mimika–Deiyai -Dogiyai dan wilayah adat yang bersinggungan.

  1. Serangan dan Pembakaran Rumah di Kampung Wakia (Mimika Barat Tengah)

Pada 26 Agustus 2024, Kampung Wakia diserang sekelompok massa dari arah Dogiyai dan wilayah yang diklaim sebagai bagian dari sengketa perbatasan.

Rumah kepala kampung dibakar, dan warga terpaksa dievakuasi untuk menghindari serangan susulan.

Peristiwa ini dipicu oleh klaim batas wilayah sekaligus perebutan akses terhadap lokasi pendulangan emas ilegal.

  1. Pembakaran Kendaraan dan Ketegangan di Kapiraya (Deiyai)

Pada 28 Agustus 2024, dua kendaraan dibakar di wilayah Kapiraya, Deiyai. Bentrokan ini melibatkan warga dari suku Mee dan Kamoro—dua kelompok adat yang sama-sama mengklaim tanah ulayat di sekitar area tambang emas ilegal.

Ketegangan meningkat karena keberadaan aktivitas pertambangan tanpa izin, yang memperuncing ketidaksepakatan batas wilayah.

  1. Potensi Konflik Meluas karena Tambang Emas Ilegal

Laporan masyarakat adat serta penggiat HAM menyebutkan kegiatan tambang ilegal di daerah perbatasan Mimika–Deiyai turut memperkeruh situasi.

Tanpa batas yang jelas, lokasi-lokasi kaya sumber daya sementara menjadi ajang rebutan dan memicu bentrokan antarwarga.

  1. Desakan Pemuda Deiyai dan Mimika

KNPI Deiyai secara terbuka meminta Pemerintah Provinsi Papua Tengah turun tangan karena khawatir konflik akan meluas.

Pemuda Mimika juga menyuarakan hal serupa—bahwa pertikaian ini mengancam hubungan antarsuku dan merusak harmoni antarwilayah.

  1. Terakhir pada 21 November 2025, masyarakat Mimika We tidak gentar berperang demi mempertahankan hak tanah adat mereka di Kapiraya.

Suara Luka dari Catur Ardamis

Berdasar penelusuran fajarpapua.com, ditemukan fakta yang mengungkapkan ironi tentang perebutan batas wilayah antara sesama anak Papua.

Cuitan Catur Ardamis di media sosial muncul seperti sebuah refleksi keras yang menampar kesadaran kolektif:

“Kami, orang Papua, lantang menyuarakan kemerdekaan. Namun di balik gemuruh itu, ada luka: kami merampas hak sesama, mengkhianati nilai-nilai yang kami junjung tinggi.”

Catur memandang sengketa Mimika–Deiyai sebagai bukti perjuangan kemerdekaan—apa pun bentuknya—akan hampa jika di dalamnya tidak ada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Ia bertanya, pertanyaan yang terasa seperti gema dari masa depan:

“Jika kelak Papua merdeka, apa yang akan terjadi? Apakah kami akan terus saling bunuh, seperti masa lalu?”

Pertanyaan itu tidak diarahkan pada siapa pun, tetapi pada semua orang Papua yang peduli pada masa depan tanah ini.

Kemerdekaan bukan hanya lepas dari kolonialisme luar.
Kemerdekaan yang sejati adalah kemampuan menjaga, menghormati, dan melindungi hak-hak leluhur sendiri.

Jika batas wilayah antar sesama orang Papua saja masih menjadi alasan pertumpahan darah, bagaimana masa depan Papua dapat dibangun dengan damai?

Jika tanah adat masih direbut tanpa musyawarah, bagaimana harga diri bisa berdiri?

Jika konflik antar saudara sendiri terus berulang, siapa sebenarnya yang menjadi penjajah?

Saatnya Hukum dan Adat Berjalan Bersama

Konflik tapal batas Mimika–Deiyai hanya bisa selesai jika dua jalur ditempuh bersamaan:

  1. Pendekatan Pemerintahan
    Penetapan ulang batas wilayah oleh Kemendagri

Pencocokan peta administrasi dengan fakta lapangan

Penutupan seluruh aktivitas tambang ilegal di titik sengketa

Kolaborasi antarkabupaten dalam pengawasan wilayah

  1. Pendekatan Adat
    Musyawarah besar adat antara suku Mee, Kamoro, Moni, dan Mimikawe

Klarifikasi batas ulayat berdasarkan sejarah lisan dan kesaksian tetua adat

Mekanisme perdamaian adat seperti barapen atau bakar batu

Keterlibatan pemuda dan gereja sebagai jembatan rekonsiliasi

Selama kedua jalur ini tidak berjalan seiring, konflik hanya akan reda sementara dan kembali menyala sewaktu-waktu.

Harus Diselesaikan di Hati, Bukan Hanya di Peta

Batas wilayah di Papua bukan sekadar garis. Ia adalah simbol identitas, memori leluhur, dan harapan masa depan.

Namun garis itu tidak boleh menjadi alasan bagi sesama orang Papua untuk saling melukai.

Catur Ardamis menutup refleksinya dengan nada yang seharusnya menjadi pengingat bagi semua:

“Kami harus berhenti merampas hak sesama, dan mulai membangun persatuan dan kesatuan. Hanya dengan begitu, kami dapat mewujudkan Papua yang benar-benar merdeka.”

Konflik tapal batas Mimika–Deiyai-Dogiyai mengajarkan satu hal, Papua tidak membutuhkan musuh dari luar untuk hancur—ia bisa hancur oleh dirinya sendiri jika luka-luka ini tak disembuhkan.

Dan justru di sanalah tugas terbesar generasi hari ini. Menghapus garis yang memisahkan sesama, sebelum menggambar ulang garis di peta. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *