BERITA UTAMAEDITORIALMIMIKA

OTONOMI KHUSUS PAPUA DI TENGAH PENURUNAN DANA TKD:Antara Janji Keadilan Fiskal Dan Realitas di Lapangan

97
×

OTONOMI KHUSUS PAPUA DI TENGAH PENURUNAN DANA TKD:Antara Janji Keadilan Fiskal Dan Realitas di Lapangan

Share this article
DARIUS SABON RAIN, SE, M.Ec. Dev.

Oleh: DARIUS SABON RAIN, SE, M.Ec. Dev.

Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua sejak awal dirancang sebagai koreksi historis atas ketertinggalan pembangunan dan ketegangan politik di Tanah Papua. Melalui skema Dana Otsus dan peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH), negara berupaya memperluas ruang fiskal Papua agar mampu mengejar ketertinggalan dalam layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar serta perlindungan sosial. Sejak Undang-Undang Otsus diberlakukan pada 2001, Papua mendapatkan ruang fiskal istimewa melalui skema Dana Otsus dan peningkatan porsi Dana Bagi Hasil (DBH). 

iklan

Namun dinamika fiskal nasional tiga tahun terakhir, terutama penurunan Dana Transfer ke Daerah (TKD), mulai memberi tekanan pada kualitas implementasi Otsus.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI tahun 2025 menunjukkan bahwa meski Dana Otsus Papua tetap terjaga, beberapa komponen TKD lain mengalami koreksi. Alokasi pagu TKD nasional tahun 2025 sebesar Rp 919,9 triliun, turun drastis pada tahun 2026 sebesar Rp 650 triliun atau mengalami penurunan sebesar 29,3 persen. Di Papua pada umumnya struktur pendapatan daerah masih sangat didominasi TKD, yaitu lebih dari 85% bagi kabupaten/kota di wilayah Papua dan Papua Barat (BPS, 2023). 

Artinya, sedikit saja terjadi penurunan TKD, maka secara otomatis kapasitas fiskal daerah langsung terganggu. Urgensi dukungan TKD sangat tinggi pada daerah-daerah yang belum mandiri secara fiskal. Pengurangan TKD secara besar-besaran tanpa kompensasi mekanisme program di daerah akan mengganggu layanan dasar.

Dana Otsus memang masih disalurkan dengan porsi tetap: 2,25 persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional per tahun hingga tahun 2041. Namun skema implementasinya berubah sejak UU Otsus Papua hasil revisi (UU No. 2/2021), di mana alokasi Dana Otsus berbasis kinerja diperkenalkan. Mekanisme baru ini punya tujuan baik, tetapi di lapangan kapasitas birokrasi daerah belum sepenuhnya siap. Ketidaksiapan ini menyebabkan banyak kabupaten terlambat menyusun dokumen kinerja, sehingga realisasi Dana Otsus menjadi tidak optimal.

Di saat bersamaan, angka kemiskinan di Papua secara umum menempati urutan tertinggi di Indonesia, yakni Papua Pegunungan sebesar 30,03 persen, Papua Tengah: 28,9 persen, Papua Barat: 20,66 persen, Papua Selatan: 19,71 persen, Papua: 19,16 persen dan Papua Barat Daya: 17,95 persen (BPS: Maret 2025). Pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, listrik dan akses jalan belum mencapai standar minimal. Penurunan TKD meski kecil secara nasional, memiliki dampak besar di Papua karena daerah tidak memiliki PAD yang cukup sebagai bantalan fiskal.

Permasalahan semakin kompleks dengan pembentukan Provinsi baru hasil pemekaran. Pemekaran ini otomatis memerlukan dukungan fiskal yang besar untuk pemerintahan baru dalam rangka pembangunan kantor, sarana prasarana, SDM, layanan publik, hingga infrastruktur konektivitas. Jika TKD turun dan Dana Otsus harus dibagi ke lebih banyak entitas administratif (provinsi baru hasil pemekaran), maka tekanan fiskalnya semakin besar. Untuk itu, jika tidak ada kebijakan afirmatif tambahan maka resiko fragmentasi fiskal akan semakin tinggi.

Kebijakan fiskal pemerintah pusat harus membaca realitas ini dengan lebih jernih. Penurunan TKD mungkin diperlukan untuk konsolidasi APBN, tetapi untuk wilayah yang sedang menjalankan kebijakan khusus seperti Papua, pendekatannya tidak bisa sama dengan daerah lain. Daerah dengan karakter dependensi fiskal tinggi butuh desain kompensasi yang lebih responsif.

Ada tiga jenis respons fiskal yang seharusnya disiapkan pemerintah pusat:

Pertama, perlu adanya Dana Transisi Otsus untuk daerah pemekaran baru. Kementerian Keuangan harus menyediakan funding khusus yang sifatnya sementara hingga provinsi baru memiliki struktur fiskal yang stabil. Tanpa ini, layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan berpotensi akan stagnan dalam 3 sampai 5 tahun ke depan.

Kedua, relaksasi penggunaan TKD terutama DAU. Banyak Kabupaten/Kota di wilayah Papua terjebak struktur belanja pegawai yang tinggi, sehingga pemda tidak dapat mengalihkan belanja ke program-program layanan dasar (belanja modal). Dengan relaksasi terbatas dan terukur, daerah bisa memprioritaskan sektor yang paling urgent.

Ketiga, sinkronisasi perencanaan Dana Otsus berbasis kinerja. Mekanisme kinerja seharusnya tidak menjadi hambatan, tetapi pendorong percepatan. Pemerintah pusat perlu menyediakan technical assistance terstruktur, baik melalui Bappenas, Kemendagri, maupun Kemenkeu agar daerah mampu menyusun dokumen kinerja yang memenuhi standar.

Otsus Papua tidak boleh berjalan di bawah bayang-bayang penurunan TKD. Tujuan besar Otsus adalah pemerataan, percepatan pembangunan dan penguatan martabat masyarakat Papua. 

Ketika ruang fiskal menyempit dan mekanisme transfer semakin kompleks, maka risiko kegagalan kebijakan meningkat. Padahal yang menjadi taruhan bukan hanya angka pada tabel APBN, tetapi kualitas hidup masyarakat Papua seperti akses pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai dan infrastruktur yang membuka konektivitas antar wilayah.

Desentralisasi fiskal memberikan janji keadilan, tetapi penurunan TKD tanpa kompensasi tepat sasaran justru memperbesar jarak antara janji dan kenyataan. Papua membutuhkan kepastian fiskal yang konsisten, bukan sekadar penyesuaian anggaran tahunan. Masa depan keberhasilan Otsus bergantung pada keberanian pemerintah pusat menyelaraskan kebijakan fiskal dengan kebutuhan riil di lapangan.

Perlu digarisbawahi bahwa Otonomi Khusus Papua lahir sebagai janji keadilan fiskal dan politik. Negara berkomitmen memberikan ruang fiskal yang lebih besar melalui Dana Otsus dan skema transfer yang diperkuat, dengan tujuan akhir mengurangi ketertinggalan dan membangun kepercayaan masyarakat Papua terhadap negara. Namun dinamika terbaru pengetatan dan penurunan relatif Dana Transfer ke Daerah, perubahan formula Otsus berbasis kinerja, serta pemekaran provinsi tanpa desain kompensasi fiskal yang matang, menempatkan Otsus dalam posisi yang rapuh.

Data kemiskinan yang masih tinggi, ketergantungan fiskal yang sangat besar terhadap transfer pusat, dan kesenjangan kapasitas antar daerah menunjukkan bahwa keberhasilan Otsus tidak bisa diukur dari besaran dana semata. Otsus akan dinilai dari seberapa konsisten kebijakan fiskal pusat–daerah mampu menjaga kesinambungan layanan publik dasar dan memperbaiki kualitas hidup warga Papua di tengah keterbatasan fiskal nasional.

Ke depan, diskursus tentang penurunan TKD dan Otsus Papua perlu bergerak dari debat nominal menuju debat desain. Pertanyaan kuncinya bergeser menjadi: bagaimana merancang arsitektur fiskal yang tetap disiplin secara makro, tetapi tidak memutus tanggung jawab negara terhadap wilayah yang paling tertinggal. Tanpa jawaban yang konkret atas pertanyaan ini, Otsus berisiko terjebak sebagai kebijakan dengan narasi besar, tetapi hasil yang jauh dari harapan masyarakat Papua.

(Penulis: Plt. Sekretaris Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Mimika)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *