Timika, fajarpapua.com — Hubungan kekerabatan antara Suku Mee dan Suku Kamoro di Kapiraya sejak dulu dikenal sangat kuat. Dua suku yang tinggal berdampingan ini hidup saling menopang melalui tradisi bertukar hasil bumi, berburu, memancing, berkebun, memasak, dan makan bersama. Ikatan sosial itu dijaga lintas generasi tanpa konflik ataupun perang adat.
Dalam tradisi lama, warga Mee membawa petatas, keladi, dan sayuran ke wilayah pesisir tempat keluarga Kamoro tinggal. Warga Kamoro menyediakan ikan laut dan daging buaya. Dua suku ini kemudian memasak bersama, tinggal saling menginap selama beberapa hari, serta memperkuat hubungan kekeluargaan. Warga Mee kembali ke kampung dengan membawa ikan dan daging buaya yang diasar serta kulit bia untuk kebutuhan adat.
Kedamaian yang terpelihara selama puluhan tahun berubah ketika aktivitas penambangan mulai masuk ke kawasan Kali Wakia. Izin yang diberikan kepada sebuah perusahaan pada awal 2024 memicu kehadiran oknum-oknum tertentu dengan berbagai kepentingan. Situasi ini menimbulkan perebutan lokasi yang mulai merambah kawasan hak ulayat Suku Mee. Ketegangan pun meningkat dan berujung konflik yang masih menyisakan dampak hingga kini.
Sejumlah tokoh adat dan pemerhati perdamaian melihat perselisihan ini tidak hanya dipicu gesekan antarwarga, tetapi juga oleh masuknya kepentingan pihak ketiga yang memanfaatkan situasi di Kapiraya. Rencana pembangunan fasilitas keamanan, relokasi warga, serta potensi eksploitasi kayu dan emas di kawasan Wakia dan Fajar Timur Papua A serta B disebut ikut memperumit dinamika di lapangan.
Aktivis HAM yang juga Koordinator Jaringan Damai Regional Papua 2 (JDRP2), Selpius Bobii mengatakan, konflik yang berlarut-larut dapat merusak tatanan sosial dua suku yang selama ini hidup rukun. Ia mengajak seluruh pihak kembali ke jalur adat untuk menyelesaikan persoalan.
Selpius menyampaikan beberapa usulan penyelesaian sebagai berikut:
- Suku Mee dan Suku Kamoro kembali duduk di para-para adat untuk mencari jalan damai.
- Pelaku kekerasan diproses sesuai hukum.
- Pemimpin adat dua suku menyepakati tapal batas adat secara permanen.
- Semua kelompok yang tinggal di Wakia menghormati aturan adat dan hak ulayat setempat.
- Pemerintah tidak mengambil langkah yang dapat memperkeruh situasi di lapangan.
- Pemerintah, gereja, dan lembaga adat memediasi proses perdamaian.
- Pemerintah Provinsi Papua Tengah mendorong penetapan tapal batas administratif antara Deiyai, Dogiyai, dan Mimika.
- Sengketa hak ulayat diselesaikan melalui mekanisme adat.
- Kerugian materi dan korban jiwa dibahas melalui forum adat agar tidak terjadi balasan.
- Seluruh masyarakat diminta menghentikan konflik yang hanya membuka ruang bagi pihak luar mengambil keuntungan dari sumber daya alam.
- Solidaritas antarwarga Papua dijaga untuk melindungi masa depan generasi berikutnya.
- Perdamaian menjadi jalan utama memulihkan kembali ikatan kekeluargaan Mee dan Kamoro.
“Kita sedikit orang, mari kita bersatu. Berdamai dan bersatu kita kuat,” tulis Selpius dalam seruannya.(fan)
