Penulis : Mustofa
(Redaktur fajarapua.com)
KABUT pagi masih menggantung rendah di perbukitan Papua Pegunungan ketika Pison Kogoya bangun dari tidurnya.
Di rumah panggung sederhana di sebuah kampung kecil, anak SD berusia belasan tahun itu duduk di tepi ranjang, menatap sebuah celengan Doraemon biru yang ia simpan di sudut ruangan.
Celengan itu telah menemaninya selama satu tahun penuh—menyimpan receh demi receh yang ia sisihkan dari uang jajan, hasil membantu orang tua, atau pemberian kecil dari kerabat.
Bagi Pison, setiap koin adalah langkah menuju mimpi yang telah lama ia genggam: merayakan Natal di Jayapura, melihat Pantai Amai, dan mencicipi air kelapa muda yang menurut cerita para perantau rasanya manis dan menyegarkan.
“Beta mau lihat laut,” katanya suatu hari, polos dan penuh harap. Di kampungnya yang dilingkari pegunungan, laut adalah sebuah legenda—sesuatu yang ia lihat hanya dari gambar di buku sekolah.
Kabut Membawa Kabar Duka
Sore itu, ketika matahari turun cepat di balik lereng gunung, Pison melihat ayahnya mengikuti siaran berita di ponsel kecil yang sinyalnya datang-putus.
Gambar samar memperlihatkan rumah-rumah terendam air, jembatan terputus, dan warga berlarian menyelamatkan diri.
Itu adalah banjir bandang yang melanda Sumatra, bencana yang dalam hitungan jam menciptakan kepanikan di tiga provinsi sekaligus.
Air bercampur material longsor menghanyutkan rumah, sekolah, dan tempat ibadah.
Ratusan jiwa meninggal dunia, lebih dari 4.000 orang luka-luka, sekitar 520 orang masih hilang, 208.000 siswa dan 19.000 guru terdampak serta 2.798 sekolah rusak dan tidak dapat digunakan.
Di kejauhan, ribuan kilometer dari tempat terjadinya bencana, seorang bocah pegunungan terpaku memandang layar.
Mata kecilnya menangkap gambar seorang anak sebayanya sedang digendong sukarelawan, menangis karena kehilangan rumah.
“Rumah hanyut… terus dong tidur di mana?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sejak malam itu, Pison tidak lagi memandangi celengannya dengan rasa bangga, melainkan dengan rasa lain yang sulit ia jelaskan.
Tabungannya terasa terlalu besar untuk ia nikmati sendiri, namun terlalu kecil untuk mengubah sesuatu.
Namun pada akhirnya, ia memilih.
Ia mengangkat celengan Doraemon itu, membawanya kepada orang tuanya, dan berkata, “Beta mau kasih ini untuk dong, orang Sumatra.”
Ayahnya terdiam. Ibunya menatap putranya lama, seolah mencoba memahami bagaimana nurani anak sekecil itu bisa bekerja sedalam itu.
Keputusan kecil itu akhirnya menjadi langkah besar. Rp 1,5 juta tabungan yang ia kumpulkan selama setahun penuh diserahkan untuk donasi warga terdampak banjir.
Tanpa publikasi, tanpa kamera, tanpa sorak sorai. Hanya keikhlasan anak kecil yang percaya bahwa membantu sesama jauh lebih penting daripada memuaskan mimpinya sendiri.
Jarak yang Luruh oleh Kebaikan
Papua dan Sumatra terpisah ribuan kilometer, budaya, bahasa, dan cuaca. Namun empati menembus semua itu. Pison tidak pernah bertemu siapa pun dari Sumatra—tidak pernah tahu bagaimana logat mereka, makanan mereka, atau kehidupan mereka.
Yang ia tahu hanyalah:
ada anak-anak yang malam itu tidak punya tempat untuk tidur.
Dan baginya, itu sudah cukup.
Pantai Amai yang Menunggu
Kini celengan Doraemon itu kosong. Namun bagi Pison, kekosongan itu bukan kehilangan. Ia mengisinya dengan sesuatu yang jauh lebih besar: perasaan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang benar, sesuatu yang manusiawi.
Laut yang ingin ia lihat suatu hari nanti mungkin masih menunggu. Pantai Amai tidak kemana-mana. Ombak akan tetap datang dan pergi.
Tetapi hati Pison—yang belum pernah sekalipun melihat samudra—telah menunjukkan bahwa ia jauh lebih luas dari air asin yang pernah ia impikan.
Di tengah dunia yang sering kali dipenuhi perpecahan dan egoisme, tindakan sederhana Pison menjadi pengingat bahwa:
Empati tidak mengenal usia.
Kepedulian tidak butuh panggung.
Kemanusiaan tidak membutuhkan garis batas peta.
Dari sebuah kampung kecil di Papua Pegunungan, seorang anak memberikan contoh paling murni tentang apa arti menjadi saudara sebangsa.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika ia berdiri di tepi Pantai Amai dan menatap laut luas di hadapannya, ia akan tersenyum—karena ia tahu, di usia yang sangat muda, hatinya pernah menjadi lautan untuk orang lain. ***
