Manokwari, fajarpapua.com – Ketua Komite III DPD Republik Indonesia Filep Wamafma mengatakan pemerintah perlu melakukan kajian secara mendalam sebelum merealisasikan rencana perluasan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua.
Kajian komprehensif yang dilakukan pemerintah wajib mengakomodasi semua aspek, baik itu aspek lingkungan, sosial, budaya, serta aspek keberlanjutan kehidupan masyarakat adat setempat.
“Masyarakat adat Papua memandang hutan sebagai ibu, tempat berlindung, dan tempat memberikan kehidupan,” kata Filep saat ditemui awak media di Manokwari, Papua Barat, Senin.
Menurut dia, Tanah Papua memiliki karakteristik ekologis yang sensitif sehingga setiap kebijakan pengembangan investasi berbasis sumber daya alam tidak boleh mengabaikan hak masyarakat adat.
Pemerintah sudah semestinya memperhatikan dampak dari investasi pada sektor kehutanan agar tidak menimbulkan bencana alam seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
“Mungkin Pak Presiden Prabowo mendapat referensi kurang lengkap dari tim ahli soal rencana untuk menambah kebun sawit di Papua,” ucap Filep.
Saat ini, kata dia, program strategis nasional pembangunan kawasan sentra produksi pangan (food estate) di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, masih menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat adat.
Permasalahan dimaksud harus menjadi atensi bagi pemerintah pusat agar melibatkan peran masyarakat lokal dalam tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan program.
“Pemahaman adat itu berbeda dengan konteks pemerintah yang selalu memandang lahan tidur sebagai potensi investasi,” ujarnya.
Ia menyebut ada sejumlah perusahaan kelapa sawit yang telah beroperasi di Tanah Papua, namun hingga kini pemerintah belum membangun industri pengolahan untuk menghasilkan produk turunan.
Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan manfaat program pembangunan, sebab aktivitas usaha lebih banyak beroritentasi pada hulu tanpa diimbangi dengan pengembangan sektor hilir.
“Sudah banyak perkebunan sawit yang beroperasi, tapi Papua hanya sebagai kebun. Hasilnya dikirim keluar lalu diolah di luar, akhirnya Papua tetap jadi konsumtif,” ucap Filep.(ant)
