Manokwari, fajarpapua.com — Mahasiswa Kabupaten Paniai yang sedang menempuh studi di Manokwari menyatakan sikap tegas menolak rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Delama Jaya dan Paniai Timur di Papua Tengah.
Mereka menilai kebijakan ini mengancam hak asasi manusia (HAM), merampas tanah adat, serta berpotensi memicu kerusakan ekologis dan budaya (ecocide dan etnosida) bagi masyarakat adat setempat.
Dalam pernyataan resmi yang ditandatangani Ketua Korlap Selpius Gobai dan Sekretaris Alpius Yeimo, pemekaran DOB disebut sebagai bentuk “kolonialisme baru” yang mengabaikan aspirasi masyarakat adat.
Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang telah berjalan selama 23 tahun dianggap gagal direalisasikan, justru dipenuhi kebijakan represif dan kekerasan militer.
Data dari sejumlah lembaga independen memperkuat penolakan ini:
1. Amnesty International mencatat pemekaran DOB kerap dilakukan tanpa konsultasi memadai dan disertai tindakan represif terhadap demonstran (10 Mei 2022).
2. BPS menunjukkan ketimpangan ekonomi tetap tinggi di wilayah DOB dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah.
3. Koalisi Kemanusiaan untuk Papua menyoroti minimnya partisipasi masyarakat adat dalam proses perumusan kebijakan.
Pernyataan sikap ini juga menyebut sejumlah nama yang diduga menjadi penggerak pemekaran:
DOB Paniai Timur: Marthinus Nawipa (Ketua Tim), Deki Degei (Sekretaris), Yuliton Degei (Anggota).
DOB Delama Jaya: Isaiyas Zonggonau (aktor utama), Charles Magai, dan almarhum Musa Hanau.
Mereka dituding “mengatasnamakan masyarakat adat” demi kepentingan elite politik dan pemerintah pusat, tanpa memenuhi syarat administratif yang diatur dalam UU No. 23/2014 dan PP No. 78/2007.
Mahasiswa juga mengingatkan dua konflik lama di Paniai yang belum diselesaikan:
1. Tragedi Paniai Berdarah 2014: Empat pelajar tewas ditembak aparat.
2. Operasi Militer di Bibida Juni 2024: Warga sipil menjadi korban intimidasi dan penembakan.
Jika rencana pemekaran DOB dipaksakan, sejumlah dampak buruk diprediksi terjadi:
Ecocide: Kerusakan hutan, pencemaran air Danau Paniai, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Genocide: Perpindahan paksa, penghapusan identitas budaya, trauma kolektif, dan pengurangan populasi masyarakat adat secara sistematis.
Delapan poin tuntutan diajukan oleh para mahasiswa, antara lain:
1. Menghentikan rencana pemekaran DOB Delama Jaya dan Paniai Timur.
2. Menarik militer dari Distrik Bibida.
3. Menolak pembukaan wisata di Kampung Dimiya (Yatamo).
4. Menegakkan hukum atas pelanggaran HAM masa lalu.
“Pemekaran adalah gerbang penghancuran: ecocide, etnosida, dan genocide. Kami menolak!” tegas pernyataan itu yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan negara.
Pernyataan sikap ini memperkuat suara masyarakat adat Papua yang selama ini kerap terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan. Meski pemerintah mengklaim DOB mempercepat kesejahteraan, realita di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Ancaman terhadap ekologi dan budaya menjadi alarm serius bagi masa depan generasi Papua. (moa)