BERITA UTAMAEDITORIALMIMIKA

Menyusuri Pelangi di Atas Awan, dari Ertsberg ke Grassberg – Pesona Keindahan Pada Ketinggian 4.285 Mdpl

cropped cnthijau.png
38
×

Menyusuri Pelangi di Atas Awan, dari Ertsberg ke Grassberg – Pesona Keindahan Pada Ketinggian 4.285 Mdpl

Share this article
Pemandangan Mile 74 dari atas kereta gantung.
Pemandangan Mile 74 dari atas kereta gantung.

Penulis : Muhammad Sahirol
(Wartawan fajarpapua.com)

Klik iklan untuk info lebih lanjut

SUDAH bukan rahasia lagi, PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan pertambangan terbesar di dunia yang beroperasi di wilayah Kabupaten Mimika, Papua, Indonesia.

Selain itu, Freeport juga merupakan salah satu perusahaan dengan nilai investasi yang sangat besar karena memiliki area jobsite tertinggi di dunia yang berada di ketinggian sekitar 4.285 meter di atas permukaan laut (MDPL).

Pada awal pekan lalu, fajarpapua.com bersama sejumlah jurnalis lainnya diperkenankan untuk mengikuti tour di lokasi pertambangan tertinggi yang dimaksud yaitu Grassberg.

“Gunung yang Diselimuti Rumput” ini merupakan salah satu tambang terbuka terbesar yang dimiliki Freeport dan berada di ketinggian sekitar 4000 mdpl.

Sayangnya operasi pertambangan terbuka atau open pit di Grassberg telah berakhir di Tahun 2019 lalu dan saat ini , Freeport beralih ke tambang bawah tanah (underground).

Jurnalis termasuk fajarpapua.com yang berkesempatan menjelajahi ketinggian lokasi pertambangan Freeport, terkesima dengan operasi tambang yang bernilai miliaran dolar tersebut.

Perjalanan kami dimulai dengan menaiki bus dari Tembagapura yang merupakan kota tambang tertinggi kedua di dunia setelah Kota La Rinconada di Peru yang berada di ketinggian 5.100 MDPL.

Kota Tembagapura yang berada di Mile 68 sendiri merupakan pusat pemukiman atau mess para pekerja dan juga pusat logistik serta kesehatan maupun hiburan bagi para pekerja tambang baik karyawan Freeport maupun kontraktornya.

Selanjutnya bus menuju ke Mile 74 yang lokasinya berada di ketinggian 2.836 MDPL.

Di tempat ini, kita serasa berada negara asing karena perjalanan harus dilanjutkan dengan menaiki kereta gantung besar yang bisa jadi satu-satunya di Indonesia.

Kereta gantung raksasa ini bila keadaan normal di dalamnya bisa memuat hingga 100 orang, namun saat pandemi ini hanya dibatasi sebanyak 40 orang.

Selain sebagai area transit sebelum menuju ke Grassberg, Mile 74 merupakan lokasi pabrik pengolahan hasil pertambangan batuan bijih menjadi konsentrat.

Sekedar pengetahuan, konsentrat hasil dari pabrik pengolahan di Mile 74 ini kemudian disalurkan melalui pipa besar menuju Pelabuhan Amamapare di Portsite dan kemudian dikeringkan sebelum diexport ke berbagai negara maupun dibawa ke smelter yang ada di Gresik, Indonesia.

Suhu di Mile 74 yang berada di ketinggian 2.836 MDPL terasa sangat dingin bagi kita kebanyakan orang Indonesia.

Suhu di tempat ini diperkirakan mencapai sekitar 12 derajat atau lebih dari 2 kali lipat dinginnya dibanding suhu rata-rata di Indonesia yang tercatat 27,3 derajat sesuai data BMKG pada Tahun 2020 lalu.

Perjalanan menggunakan kereta gantung ini juga semakin membuat kekaguman kami semakin tinggi.
Bagaimana tidak kagum.

Dari atas ketinggian kereta gantung kita bisa melihat dengan jelas keindahan pegunungan dan disela-selanya terlihat kendaraan operasional perusahaan, alat-alat berat serta jejeran gedung pabrik konsentrat beroperasi. Pemandangan itu membentuk rangkaian panorama bak pelangi di atas awan.

Dari ketinggian kereta gantung, kita disambut dengan keindahan lokasi pertambangan Ertsberg atau Gunung Bijih yang merupakan tambang terbuka pertama milik Freeport.

Gunung Bijih ini dari catatan Wikipedia didaki pertama kali oleh Jean Jacques Dozy, Anton Colijn, dan Frits Julius Wissel pada tahun 1936.

Dan baru pada tahun 1973, Freeport-McMoRan dari Amerika Serikat memulai aktivitas pertambangan di wilayah ini.

Tambang yang berada di ketinggian 3600 MDPL yang memiliki suhu antara 12 hingga 10 derajat ini sendiri berhenti beroperasi sekitar tahun 2018 lalu.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15-20 menit kereta gantung berhenti di Terminal Grassberg.

Suhu di tempat ini menurun hingga 5-7 derajat, beruntung di lokasi telah disediakan ruangan untuk menghangatkan diri bagi karyawan maupun visitor yang kesulitan menghadapi suhu dingin.

Setelah melakukan aklimatisasi atau menyesuaikan diri dengan suhu di lingkungan Grasberg, rombongan dibawa tour ke lokasi tambang terbuka.

Saat melihat area bekas tambang terbuka, seketika teringat cerita saat Tim KKN Mimika Tahun 1997 beraudiens dengan Almarhum Drs.August Kafiar, M.A mantan Vice President PT Freeport Indonesia di RW B Kuala Kencana.

Kala itu, pendidik yang menjabat Rektor Universitas Cenderawasih tahun 1988 – 1996 menyatakan “Setiap Pembangunan Pasti akan Membawa Dampak, Contohnya Dalam Membangun Rumah Kita Pasti akan Merusak Tanah Untuk Pondasi dan Dalam Konteks Tambang Freeport Pasti Juga Akan Merubah Daerah yang Menjadi Lokasi Pertambangan.”

Lantas apa yang akan dilakukan Freeport setelah Grassberg berhenti beroperasi?

Senior Manager Mine Closure PTFI, I Nengah Giri mengatakan, pihaknya saat ini melakukan reklamasi penghijauan di Grassberg.

Hal ini dilakukan dengan menanam tanaman flora endemik yang bentuknya sejenis rumput.

“Karena di sini dulu merupakan gunung yang ditumbuhi rerumputan lebat, jadi kami tanam rumput kembali atau reklamasi, nah itulah yang kini kami upayakan,” katanya.

Komitmen Freeport dalam restorasi kawasan bekas tambang ini memiliki beberapa tantangan terkait kondisi geografis wilayah tersebut.

Misal saja, adalah suhunya yang rendah, curah hujan tinggi, intensitas cahaya rendah, dan kawasannya yang dihampari bebatuan tanpa tanah, yang membuat kemampuan tumbuh berbagai jenis vegetasi menjadi sangat lambat.

Oleh karena itu, salah satu upaya restorasi yang tengah dilakukan adalah melakukan upaya konservasi plasma nutfah, yakni menggunakan sepenuhnya spesies tumbuhan lokal di sekitar Grassberg menjadi tumbuhan yang ditanam di area reklamasi.

“Tambang Grassberg ini tidak bisa ditimbun kembali seperti sedia kala, lubang besar di atas gunung itu hanya bisa ditanami rumput dan tanaman pakis endemik,” ujarnya.

Dengan diameter yang mencapai 3,5 kilometer, restorasi yang dilakukan adalah reklamasi yang sesuai peruntukkannya yang sudah disepakati, sudah disetujui oleh Pemerintah. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *