Timika, fajarpapua.com – Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika bersama perwakilan Klinik Rafael, Loka POM Timika, keluarga pasien dan Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Jumat (22/7) menggelar konferensi pers terkait temuan mirip serpihan kaca dalam obat puyer, di Hotel Grand Tembaga Timika, Papua.
Kadis Kesehatan Mimika, Raynold Ubra menjelaskan, pertemuan ini dilakukan sebagai bukti bahwa pemerintah hadir untuk masyarakat.
Artinya pemerintah hadir untuk menjembatani dan memberikan penjelasan secara resmi terkait persoalan viralnya video obat puyer kaca dari Klinik Rafael yang telah diviralkan oleh keluarga pasien agar diketahui khalayak umum.
Ia mengatakan, secara kronologis, pada Senin (19/7), keluarga pasien membawa anak mereka (AY) berusia 1,3 tahun untuk diperiksa di klinik Rafael.
“Selain keluhan batuk dan pilek, ia juga terkena malaria. Ia kemudian diberikan obat puyer yang ditambahkan gula pasir. Namun sampai di rumah orangtua mengira bahwa itu adalah kaca. Kedua pihak baik keluarga pasien maupun pemilik klinik sudah dipertemukan dan itu bukan kaca tapi gula,” ungkapnya.
Reynold Ubra mengatakan, dari kejadian ini kedua pihak telah berdamai namun ada pelajaran besar yang dapat dipetik terutama dalam melakukan pelayanan kesehatan.
“Yaitu saat memberikan pelayanan harus dilakukan dengan hati-hati. Yang jadi masalah di sini adalah komunikasi ketika obat itu diberikan,” ujarnya.
Selain itu, Reynold menambahkan bahwa di setiap layanan kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta, pengawasan kesehatan harus terus dilakukan.
“Kami bersyukur kepada keluarga pasien dan klinik Rafael serta IDI, Laka POM dan Polres Mimika yang sudah fasilitasi sehingga masalah ini telah berakhir. Jadi publik harus tahu bahwa itu bukanlah kaca namun gula,” ungkapnya.
Perwakilan Klinik Rafael, dr. Moses Untung pada kesempatan itu meminta maaf atas ketidaktelitian pihaknya dalam memberikan racikan obat. Sebab, gula yang tercampur dalam obat puyer tidak tergerus halus.
Dijelaskan, saat itu orang tua mengantar anaknya ke Klinik Rafael. Hasil pemeriksaan diketahui malaria dan influensa. Orang tua sang anak meminta agar anaknya disuntik. Setelah itu pasien pulang dan kemudian pada tanggal 19 Juli ia mendapat kiriman video tersebut.
Selanjutnya tanggal 20 Juli pihaknya melakukan pertemuan di tempat klinik mengundang orang tua menunjukkan semua proses pembuatan obat puyer tersebut.
Sebelum sampai ke pihak berwajib, sebenarnya kedua belah pihak sudah menyelesaikan secara kekeluargaan namun berita sudah menyebar di media sosial. Sehingga pada hari Kamis (21/7) kedua pihak menyelesaikan masalah itu di Polres Mimika.
“Dari pihak keluarga juga sudah meminta maaf atas postingan yang dibuat tanpa terlebih dahulu konfirmasi ke pihak kami. Dan kami juga mohon maaf atas ketidaktelitian kami dan akhirnya kami sepakat untuk berdamai secara kekeluargaan,” katanya.
Sejak hari itu, Klinik Rafael berhenti beroperasi hingga permasalahan selesai.
Sementara dari pihak keluarga diwakili Pendeta Darsius Adii menyampaikan, setelah sampai di rumah pasien tidak sempat minum obat karena sudah disuntik.
“Tapi waktu pagi saat bungkus obat dibuka dan diaduk dengan air ternyata di dalam ada butir-butir, terus dilihat seperti serpihan kaca, dan keluarga berpendapat seperti itu,” ujarnya.
Dia melanjutkan, melihat hal itu keluarga memvideokan dan viral di media sosial
“Setelah kejadian itu kita ketemu dokter dan dokter menjelaskan bahwa itu gula. Setelah itu kami membuat pernyataan dan menghapus video, begitu juga dengan dokter meminta maaf atas ketidaktelitiannya,” ujarnya.
Sementara hasil pemeriksaan Loka POM Timika tidak menemukan yang salah dengan obat puyer tersebut.
“Sesuai tupoksi kami, kami wajib turun atas kejadian ini, tugas kami melindungi masyarakat. Kami turun dengan tim dan meminta sisa obat yang diberikan dokter itu sisanya seperti apa, ternyata ada empat diantaranya ada paracetamol, dexametason, CTM, dan saat kami periksa kami tidak menemukan barang bukti pecahan kaca,” ujar Kepala Loka POM Timika, Lukas Doso Nugroho.
Dikatakan, saat pemeriksaan juga ada gula, namun secara hukum pihaknya tidak menemukan barang bukti kaca sehingga keluarga pasien sudah berdamai dengan dokter.
“Dan yang paling utama sebenarnya tidak terjadi apa-apa terhadap anak tersebut, jadi tidak ada masalah, itu yang terpenting. Anaknya masih sehat, tidak terjadi apa-apa,” tuturnya.
“Ini pembelajaran bagi kita semua tentunya tetap akan menjamin keamanan obat yang beredar, dan dari obat tersebut resmi telah terdaftar di BPOM,” imbuhnya.
Plt. Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinkes Provinsi Papua, Yohanes Tebai, mengatakan setiap klinik dalam hal pendirian perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya dalam SOP sudah diatur pelayanan farmasi di klinik dan sudah keluar Permenkes tahun 2021 bahwa klinik harus mempunyai Apoteker.
“Dalam pelayanan kesehatan yang ditekankan adalah upaya, sekali lagi upaya, dan harus dilaksanakan sesuai dengan SOP yang ada, bukan hanya hasil tapi upaya langkah-langkah dan perlu disadari, dimengerti dan diterapkan,” ujarnya.
“Ini masalahnya pada apoteker, sebuah klinik harus mempunyai apoteker,” lanjutnya.
Dijelaskan di dalam SOP apabila dilakukan pelayanan obat bisa dilakukan mandiri jika di wilayah itu tidak ada apoteker.
“Untuk kedepan dalam pelayanan harus sesuai SOP, perlu dilihat dan dilaksanakan dengan seksama, semua pasti ada kesalahan dalam pelayanan tapi paling tidak kita sudah berupaya,” paparnya.
Kemudian hal yang perlu diperhatikan yakni komunikasi dan etika dalam profesi yang harus dijaga supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Komunikasi itu tidak boleh dilupakan, kejadian kemarin seharusnya dokter bisa komunikasi pada pasien bahwa supaya tidak terlalu pahit saat minum obat maka obat dicampur gula supaya pasien bisa minum obat, kan simpel,” pungkasnya. (feb)