BERITA UTAMANASIONAL

Refleksi Hari Buruh 2025: Nyawa Hilang, Keadilan yang Tak Kunjung Datang – Jeritan Buruh Freeport dari Tanah Papua

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
1222
×

Refleksi Hari Buruh 2025: Nyawa Hilang, Keadilan yang Tak Kunjung Datang – Jeritan Buruh Freeport dari Tanah Papua

Share this article
IMG 20250501 WA0029

DITENGAH gegap gempita peringatan Hari Buruh Internasional, ada suara yang tak terdengar lantang di pelataran tambang Grasberg: suara mereka yang telah gugur, suara keluarga yang ditinggalkan, dan suara buruh yang tetap bertahan dalam bayang-bayang ketidakadilan.

Peringatan International Workers’ Memorial Day (IWMD) 2025 menjadi momen refleksi sekaligus seruan keras dari buruh PT Freeport Indonesia yang selama delapan tahun terakhir terus memperjuangkan haknya—tanpa kepastian, tanpa keadilan.

iklan
Banner Iklan
iklan

George Wasarbuy Mandibondibo, perwakilan Koalisi Korban Buruh Mimika Papua Tengah, menyebut IWMD tahun ini sebagai waktu untuk mengingat, merenung, dan menuntut.

“Delapan tahun sejak divestasi saham PT Freeport Indonesia, luka kami belum sembuh. Ribuan buruh terbuang seperti sampah, hak-hak kami diabaikan, dan nyawa kami dianggap murah,” ungkapnya.

Tragedi yang Terstruktur

Divestasi saham yang terjadi pada 2017 seharusnya menjadi momen kemenangan nasional: kontrol atas kekayaan alam kembali ke tangan bangsa.

Namun bagi ribuan pekerja, itu menjadi awal dari tragedi panjang. Ribuan buruh kehilangan pekerjaan tanpa jaminan. Banyak yang jatuh sakit, kehilangan tempat tinggal, bahkan nyawa.

Mereka yang tetap bekerja menghadapi kondisi kerja yang penuh risiko: dari kecelakaan tambang, paparan bahan kimia, hingga kelelahan fisik dan mental yang tidak manusiawi.

Salah satu tragedi besar adalah runtuhnya terowongan di tambang Grasberg yang merenggut nyawa pekerja, kejadian yang mencerminkan minimnya standar keselamatan kerja di lingkungan ekstraktif ini.

Pelanggaran Hukum, Pengabaian Kemanusiaan

Pada 1 Mei 2017, para buruh Freeport melakukan mogok kerja berdasarkan Pasal 137 dan 140 UU Ketenagakerjaan. Namun, hak mereka selama mogok—yang dilindungi Pasal 145—dilanggar.

Pemutusan hubungan kerja secara sepihak dilakukan terhadap ribuan pekerja. Tak sedikit dari mereka yang kemudian terperosok dalam jurang kemiskinan dan tekanan psikologis.

“Hingga kini, keluarga korban masih menanti keadilan yang tak kunjung datang,” tegas George.

Tuntutan di IWMD 2025

Dalam peringatan IWMD 2025, para korban buruh Freeport menyuarakan tuntutan nyata:

  1. Keadilan untuk yang Gugur
    Kompensasi layak dan penyelesaian hukum terhadap kematian dan cedera akibat kecelakaan kerja maupun tekanan ekonomi pasca-PHK.
  2. Pemulihan Hak Korban PHK
    Pengakuan resmi terhadap ribuan buruh yang dipecat sepihak serta pemulihan hak-haknya secara hukum dan sosial.
  3. Reformasi Keselamatan Kerja
    Audit independen terhadap standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), termasuk pengelolaan limbah tailing yang membahayakan manusia dan lingkungan.
  4. Penguatan Hak Buruh
    Jaminan atas kebebasan berserikat, hak atas pekerjaan yang layak, serta akses pada layanan kesehatan dan sosial bagi para buruh aktif maupun yang terdampak divestasi.
  5. Transparansi Proses Divestasi
    Investigasi menyeluruh terhadap dampak sosial-ekonomi dari proses divestasi yang dinilai menguntungkan elite, tetapi mengorbankan kelas pekerja.

Berseru dari Bawah Tanah Papua

George menutup seruannya dengan nada getir dan penuh harap:

“Kami melihat kawan-kawan kami jatuh satu per satu. Ada yang tewas karena kecelakaan kerja, ada yang patah semangat hingga tak mampu bertahan, dan ada pula yang kini hidup tanpa harapan. Di IWMD ini, kami berdiri bukan untuk meratap, tapi untuk menuntut. Kami ingin dunia tahu: perjuangan kami belum selesai.”

Slogan IWMD, “Remember the Dead, Fight for the Living,” bukan sekadar ungkapan, tapi sumpah yang dibisikkan dari kedalaman tambang Papua—bahwa tak ada nyawa buruh yang boleh menjadi tumbal keuntungan.

Sementara Anthony Awom anggota kolektif mogok kerja buruh Freeport Indonesia di Jayapura mengingatkan dan menyerukan: bahwa May Day atau Hari Buruh Internasional memang menjadi momentum penting bagi para buruh untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka terkait kesejahteraan hidup bukan perayaan bagaikan hiburan, yaitu sebagai hari untuk memperingati perjuangan buruh dan menuntut hak-hak mereka.

May Day menjadi pengingat pelanggaran hukum ini belum terselesaikan.

Buruh Freeport harus menggunakan momentum ini untuk menuntut pemerintah menegakkan hukum , tetapi respons minim dari otoritas membuat peringatan ini lebih sebagai perayaan Fiesta daripada perbaikan hak – hak buruh.

Pada bulan Februari 2025, perwakilan buruh Freeport turut bersolidaritas menggelar aksi unjuk rasa dengan tema “Indonesia Gelap” di Jakarta.

Mereka menuntut keadilan atas PHK massal yang telah terjadi selama bertahun-tahun.

Aksi ini menunjukkan solidaritas antara buruh, mahasiswa, dan masyarakat yang terpinggirkan.

Isu buruh PT Freeport Indonesia yang menjadi korban Konstitusi karena berserikat, khususnya terkait mogok kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK), merupakan masalah kompleks yang melibatkan hak ketenagakerjaan, pelanggaran HAM, dan dinamika Politik Ekonomi.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *