Timika, fajarpapua.com — Lembaga Swadaya Masyarakat Kampak Papua mendesak Jaksa Agung untuk segera memeriksa pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di wilayah Raja Ampat. Desakan ini muncul setelah dugaan kuat adanya praktik mafia IUP yang dinilai berpotensi merugikan keuangan negara secara signifikan.
“Sektor pertambangan itu pusat lahan korupsi,” tegas aktivis antikorupsi asal Papua, Johan Rumkorem, kepada media online, Rabu (5/6). Menurut Johan, korupsi paling subur dan berbuah ada pada sektor ini. Ia menilai tumpang tindih IUP merupakan pintu masuk suap dan kejahatan sistemik yang sudah seharusnya dibongkar.
“Kami menduga ada mafia tambang yang duduk manis di Istana dan Senayan. Mereka ikut bermain, makanya IUP bisa tetap aman seperti ini,” ujar Johan.
Lebih lanjut, Johan mengungkapkan bahwa pihaknya pernah melaporkan 124 IUP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Menurutnya, banyak dari IUP tersebut diduga ilegal.
Ia juga menyoroti proses penetapan IUP/WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) yang dianggap tidak memperhatikan potensi kerugian negara dan risiko terhadap kawasan hutan lindung. Bahkan, kata Johan, ada perusahaan yang mendapatkan izin meskipun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun studi kelayakan yang memadai.
“Kadang pemberian IUP tidak dilihat dari aspek lingkungan. Mereka tak peduli dampaknya, yang penting bisa menambang. Itu bentuk kejahatan luar biasa,” ujar alumni Teknik Pertambangan Universitas Trisakti Jakarta ini.
Johan juga menyinggung sejumlah perusahaan tambang yang tidak memenuhi kewajiban menyetor dana jaminan reklamasi dan pascatambang, namun tetap lolos mendapatkan izin. Situasi ini diperparah dengan tumpang tindih status IUP yang tidak clean and clear, tunggakan pajak, dan lemahnya pengawasan negara terhadap penerimaan negara bukan pajak dari sektor ini.
“Jadi potensi-potensi seperti ini yang kami minta supaya Jaksa Agung segera periksa pemilik IUP nikel di Raja Ampat,” imbuhnya.
Johan menilai bahwa Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) menjadi titik paling rawan dalam pengelolaan tambang nikel di Raja Ampat. Padahal, daerah tersebut dikenal sebagai surga wisata dunia.
“Negara harus tegas. Jangan hanya rakus menambang hingga lingkungan rusak dan negara merugi. Semua dokumen Amdal dan IUP harus diperiksa,” tegas Johan.
Lebih jauh, ia menduga adanya gratifikasi dalam proses penetapan IUP Nikel di Raja Ampat. Hal ini, menurutnya, menjadi alasan mengapa pemerintah daerah dan provinsi terkesan diam.
“Sangat disayangkan, masyarakat adat marah tapi negara justru diam. Tidak boleh menambang tanpa koordinasi dengan masyarakat adat. Ini tanah adat, bukan tanah kosong,” kata Johan.
Ia menutup pernyataannya dengan pesan keras kepada pemerintah pusat. “Kalau mau datang ke Papua, jangan seperti pencuri. Jangan datang untuk mencuri, membunuh, dan membinasakan,” pungkasnya.
Johan meminta agar Kementerian ESDM bertindak tegas terhadap kasus tambang nikel di Raja Ampat. Ia menekankan agar ketegasan tidak hanya tampak di depan publik, tetapi juga nyata dalam tindakan.(red)