KETIKA pagi datang dengan suara lonceng sekolah, tak semua guru lagi berdiri di depan kelas. Ada yang kini hanya bisa menatap gerbang dari jauh, menahan genangan di mata, bertanya dalam diam: Apakah pengabdian kami hanya diukur dari status, bukan dari hati yang memberi?
Adalah Susana Horik, seorang guru kontrak Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Mimika tahun ajaran 2023/2024. Dalam sunyi yang getir, ia menyampaikan keluhan atas keputusan yang memaksanya “dirumahkan” tanpa evaluasi kinerja lebih dahulu. Ia menerima alasan datangnya guru P3K sebagai pengganti dengan dada yang lapang, namun tak dapat menyembunyikan luka dalam hatinya.
“Aku masih menjadi wali kelas XII IPS 1 hingga bulan Mei,” ucap Susana, lirih. “Aku masih mendampingi, membimbing, dan mencatat jejak anak-anak itu. Tapi setelah mereka lulus, bahkan ijazah pun belum keluar, aku sudah tak dilibatkan lagi.”
Ia merasa dilupakan tanpa penilaian. Tanpa penghargaan atas tahun-tahun yang ia habiskan untuk menanam ilmu dan kasih di tanah Mimika. “Kata ‘dirumahkan’ itu terlalu ringan untuk menjelaskan betapa berat perasaan ini,” katanya pilu.
Cerita Susana hanyalah sepotong dari mozaik luka para guru kontrak di Mimika. Ada pula kisah dari seorang guru yang mengabdi sejak 2013 dan pernah lolos PPPK, namun kemudian digantikan tanpa penjelasan memadai. “Saya sudah menerima SK, bahkan wisuda di Jayapura. Tapi saat kembali, nama saya sudah tergantikan,” ungkapnya. Ironi itu masih berlanjut hingga kini, saat ia mengajar tanpa upah di SD Inpres Mapurujaya karena kontraknya dianggap tak berlaku, walau sebelumnya diminta untuk diperpanjang.
Di SP3, Neneng Novalin Dahlia Marani, guru kontrak SD Inpres Timika III sejak 2015, tak pernah berhenti mengabdi meski namanya selalu gugur di proses berkas P3K. “Kami bukan tak mampu mengajar, hanya tersandung sistem,” katanya. “Tapi kami tetap setia berdiri di depan kelas, walau hati kami patah.”
Kisah lain datang dari Yakobus Mekao, satu-satunya guru Orang Asli Papua (OAP) di SD Sentra Pendidikan. Ia diminta mengajar sejak Januari, dijanjikan akan dipertahankan, tapi di akhir Februari ia justru disuruh keluar begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih, tanpa bayaran, tanpa perpisahan yang layak. “Hanya kata, ‘pergi menghadap ke dinas, cari sekolah lain yang masih butuh’,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dari pedalaman, dari TK-TK kecil di bawah naungan YPPK, dari para guru PAUD yang telah lebih dari sepuluh tahun mengabdi, suara lirih pun datang. Mereka tak pernah lelah mendidik, walau status mereka sering kali dipinggirkan saat rekrutmen formal dimulai.
Semua cerita ini menampar nurani. Di balik kata “kontrak” ada jiwa yang bertahun-tahun menanam cinta di hati anak-anak. Ada peluh yang tumpah tanpa jaminan, dan harapan yang pupus di depan mata.
Para guru kontrak ini tak menuntut lebih—hanya keadilan dan penghargaan yang layak atas dedikasi mereka. Mereka tak ingin dielu-elukan, hanya tidak dilupakan.
Dan kini, mereka menunggu. Bukan sekadar gaji yang tertunda, tapi pengakuan atas perjuangan panjang yang tak pernah dicatat dalam sistem. Mereka bertanya kepada negeri ini: Masih adakah ruang untuk kami di antara deretan nama-nama yang kini resmi dan tetap?
“Kami bukan nama yang baru muncul, kami adalah akar dari pendidikan yang lama tertanam. Jangan cabut kami sebelum melihat buah dari pengabdian kami.”