BERITA UTAMAMIMIKA

Mempertanyakan Fungsi dan Sumber Dana Jaksa Sebagai Pendamping Proyek, Ketika Akhirnya “Dari Pengawas Berubah Jadi Penuntut”

1145
×

Mempertanyakan Fungsi dan Sumber Dana Jaksa Sebagai Pendamping Proyek, Ketika Akhirnya “Dari Pengawas Berubah Jadi Penuntut”

Share this article
Ilustrasi

Timika, fajarpapua.com – Kasus hukum proyek pembangunan lapangan Aeromodeling Mimika yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Jayapura masih menyisakan tanda tanya besar. Dalam proyek tersebut, jaksa berperan sebagai pendamping atau pengawas selama proses berjalan. Namun ironisnya, kini jaksa pula yang bertindak sebagai penuntut di pengadilan.

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: untuk apa sebenarnya fungsi pendampingan jaksa bila ujungnya proyek yang diawasi justru berujung di meja hijau? Dan dari mana sumber dana pendampingan tersebut, jika ternyata tidak tercantum dalam APBD?

Jika pendampingan tidak dianggarkan secara resmi, lalu dari mana biaya operasional kegiatan itu ditutupi? Apakah kontraktor diminta berpartisipasi secara tidak langsung melalui dana proyek? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab secara transparan, karena di situlah letak potensi konflik kepentingan muncul.

Pendampingan jaksa pada proyek pemerintah semestinya memiliki fungsi preventif—mencegah penyimpangan sejak awal. Namun ketika jaksa yang mendampingi kemudian berubah peran menjadi penuntut, maka fungsi pengawasan itu kehilangan makna. Dalam logika sederhana, bagaimana mungkin pengawas menjadi pengadil atas sesuatu yang dia sendiri dampingi?

Secara normatif, peran kejaksaan memang diatur dalam berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan pengamanan pembangunan strategis. Pedoman Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2023 dan Petunjuk Teknis JAM Intel B-1450/D/Ds/09/2023 juga menegaskan tata cara pelaksanaan Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS).

Namun dalam praktiknya, prinsip objektivitas dan profesionalisme sering kali diuji di lapangan. Ketika fungsi pengawasan justru menjadi sumber tekanan atau bahkan pintu masuk penegakan hukum yang berujung pada kriminalisasi, maka esensi pendampingan itu patut dipertanyakan.

Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan, peran aparat penegak hukum dalam proyek pembangunan bisa berujung pada penyalahgunaan wewenang bila tidak dijalankan secara transparan. Beberapa kasus korupsi yang menyeret oknum kejaksaan di daerah menjadi pelajaran berharga bahwa pendampingan tanpa mekanisme kontrol justru menciptakan ruang gelap baru dalam proses pembangunan.

Oleh karena itu, masyarakat berhak mempertanyakan efektivitas skema pendampingan proyek oleh Kejaksaan. Bila akhirnya pendamping berubah menjadi penuntut, lalu apa guna pengawasan itu sendiri?

Kejaksaan Agung perlu meninjau kembali tata kelola pendampingan proyek agar peran kejaksaan tidak menimbulkan persepsi memiliki dua wajah—pelindung di awal, penindas di akhir.(redaksi)

Responses (3)

  1. Pendampingan oleh Kejaksaan melalui program Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) sejatinya bukan bentuk “pengawasan teknis” terhadap proyek. PPS berfungsi untuk memberikan asistensi hukum, mitigasi risiko hukum, serta mencegah potensi penyimpangan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
    Artinya, jaksa tidak terlibat dalam pengambilan keputusan teknis proyek, melainkan memberi panduan agar proses berjalan sesuai aturan hukum. Kejaksaan tidak melakukan pendampingan atau pengamanan pembangunan strategis (PPS) pada proyek Aeromodeling, tidak terdapat keterlibatan formal lembaga dalam tahapan pelaksanaan proyek.
    Dengan demikian, setiap peran jaksa yang disebut sebagai “pendamping” dalam konteks ini tidak bersumber dari penugasan resmi kelembagaan, melainkan harus ditelusuri apakah itu inisiatif pribadi, bentuk komunikasi informal, atau persepsi dari pihak proyek.

  2. Pendampingan oleh Kejaksaan kepada proyek2 di seluruh Indonesia sdh dibubarkan.
    Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4) di tingkat pusat dan daerah resmi dibubarkan Kejaksaan Agung pada awal Desember 2019. dalam rapat Selasa (3/12/2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *