BERITA UTAMAMIMIKA

Sekedar Mimpi, Seandainya Potowayburu Jadi Ibu Kota Kabupaten Mimika – Sejuta Keunggulan yang Terlupakan

868
×

Sekedar Mimpi, Seandainya Potowayburu Jadi Ibu Kota Kabupaten Mimika – Sejuta Keunggulan yang Terlupakan

Share this article
Deretan pohon nyiur melambai, menyapa pengunjung yang memasuki Kampung Potowayburu

MENYAKSIKAN panorama senja di Potowayburu seakan memandang lukisan hidup yang bergerak. Matahari perlahan turun, membelah langit menjadi gradasi warna jingga dan emas. Di kejauhan, ombak memantulkan sinar terakhir hari itu, seperti cermin yang menampakkan wajah alam yang suci dan belum tersentuh.

Suara angin laut berbaur dengan kicau burung dari arah hutan bakau, dan aroma asin laut bercampur wangi tanah basah selepas hujan. Di momen seperti itu, siapa pun yang berdiri di tepi pantai Potowayburu akan tahu — tempat ini bukan sekadar kampung kecil di pesisir Mimika Barat Jauh. Ia adalah sebuah panggung alam yang menunggu waktu untuk dikenal dunia.

iklan

Nama Potowayburu berasal dari bahasa Kamoro, suku asli pesisir selatan Mimika. “Poto” berarti tanah, “Wayburu” berarti air besar atau gelombang besar. Sebuah nama yang lahir dari kearifan lokal — bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga simbol filosofi hidup masyarakat Kamoro yang selalu mencari keseimbangan antara darat dan laut, antara manusia dan semesta. Sejak lama, tempat ini menjadi titik penting dalam perjalanan leluhur Kamoro, pusat kehidupan dan ritual, tempat mereka menanam sagu, mengukir kayu, dan merayakan pesta adat dengan nyanyian yang menggema di antara ombak.

Kini, Potowayburu memang tampak sunyi. Sebuah kampung nelayan di ujung barat Mimika yang masih ditempuh lewat jalur laut. Tapi di balik kesederhanaannya, Potowayburu menyimpan keunggulan yang tak banyak diketahui. Letaknya strategis — diapit gunung dan laut, dekat dengan jalur menuju Dobo dan Maluku, serta berdekatan dengan Kaimana dan Teluk Etna di sebelah timur. Bahkan ke Makassar pun bisa dijangkau lebih cepat lewat jalur laut terbuka. Akses ini menjadikan Potowayburu secara geografis jauh lebih potensial sebagai simpul mobilitas antarwilayah Papua dan Indonesia bagian timur.

Air di Potowayburu jernih, berasal langsung dari pegunungan di belakang kampung — bagian dari deretan pegunungan Tembagapura. Tidak tercemar limbah industri, tidak mengandung sisa tailing yang mengotori sungai-sungai di wilayah lain. Tanahnya padat dan kering, cocok untuk pembangunan. Tidak perlu timbunan tinggi untuk mendirikan rumah, karena daratannya terangkat alami dari garis laut. Pantainya bersih, tak berlumpur. Letaknya yang lebih tinggi dari sungai membuatnya hampir mustahil terendam banjir. Ini anugerah geografis yang jarang dimiliki daerah pesisir mana pun di Mimika.

Potowayburu juga memiliki daya tarik wisata yang luar biasa. Di belakang kampung, air terjun tersembunyi jatuh dari tebing batu, mengalir menuju sungai kecil yang jernih. Di lereng gunung, pepohonan hijau rimbun seolah menjadi benteng alam. Bila saja dikelola dengan visi ekowisata yang berkelanjutan, Potowayburu bisa menjadi destinasi unggulan — tempat vila-vila berdiri di antara pepohonan, tempat wisatawan menikmati senja dan mendengar kisah Kamoro tentang roh laut dan leluhur. Tak jauh dari sana, jalan Trans Timika–Wagete yang kini sudah mendekati Potowayburu hanya tinggal beberapa kilometer lagi untuk tembus. Artinya, keterpencilan kampung ini bukanlah kutukan, melainkan potensi besar yang menunggu disentuh.

Sebagian besar warga Potowayburu adalah nelayan dan pengrajin. Mereka hidup dari laut, dari ikan, kerang, dan sagu. Mereka masih mempertahankan sistem adat pembagian hasil, bentuk solidaritas kuno yang menolak keserakahan. Di tangan mereka, ukiran kayu bukan hanya karya seni, tetapi doa yang dipahat — simbol hubungan manusia dengan alam. Namun potensi ini sering terlupakan, karena pandangan pembangunan selama ini terlalu terpusat di Timika. Daerah pesisir seperti Potowayburu dibiarkan menunggu giliran, seolah kemajuan harus selalu datang dari tengah, bukan dari pinggir.

Padahal, dari segi tata ruang dan keberlanjutan, Potowayburu memiliki semua yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi ibu kota baru. Lahan masih luas, datar, dan stabil. Udara bersih, air melimpah, dan lingkungan masih alami. Pembangunan kantor, permukiman, pelabuhan, hingga kawasan wisata bisa terintegrasi tanpa harus mengorbankan alam. Jika dilihat dari perspektif ekologis, menjadikan Potowayburu sebagai pusat pemerintahan adalah pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan dibanding wilayah yang padat dan tercemar.

Namun semua itu, sementara ini, hanyalah angan — sebuah mimpi yang berjalan di atas pasir putih Potowayburu, tertiup angin sore. Dalam kenyataan, Potowayburu masih menjadi kampung nelayan sederhana dengan jumlah penduduk tak lebih dari tiga ribu jiwa. Akses jalan darat belum sempurna, listrik masih terbatas, dan jaringan komunikasi kadang hilang ditelan badai laut. Tapi justru di sinilah keindahannya: Potowayburu masih murni, belum kehilangan identitasnya.

Bayangkan jika suatu hari nanti, mimpi itu benar-benar diwujudkan. Ibu kota Mimika berdiri di tepi laut yang biru, di tanah yang tak pernah banjir, di bawah langit yang menyala setiap senja. Anak-anak Kamoro bersekolah di gedung yang megah, namun tetap menari di pesta adat. Pemerintah bekerja di kantor yang berhadapan langsung dengan laut, tempat mereka bisa mendengar suara ombak — pengingat bahwa kekuasaan harus selalu dekat dengan alam dan rakyatnya.

Potowayburu bisa menjadi simbol kebangkitan barat Mimika — sebuah bukti bahwa kemajuan tak selalu lahir dari pusat industri, tapi bisa tumbuh dari tanah yang bersih dan jiwa yang sederhana. Di antara desir ombak dan deburan angin, kampung ini menunggu, dengan sabar dan tenang. Karena kadang, mimpi yang tampak jauh hanyalah kenyataan yang belum tiba waktunya.

Dan setiap kali matahari tenggelam di cakrawala, bayang-bayang gunung dan laut di Potowayburu seperti berbisik pelan:
“Jika mimpi ini terus dijaga, mungkin suatu hari nanti, ibu kota itu akan lahir di sini — di tanah di tepi air besar, tempat kehidupan pertama kali dimulai.”(fan)

Responses (2)

  1. Tak perlu menjadi ibu kota jika hanya akan merusak segalanya namun lebih cocok menjadi destinasi wisata ala Papua yang berkelas

Leave a Reply to Ighy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *