Timika, fajarpapua.com – Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kasus penembakan yang menewaskan tiga Anggota Polres Mamberamo Raya pada tanggal 12 April 2020 lalu.
Ketiga korban yang meninggal yakni Almarhum Briptu Marchelino Rumaikewi, Almarhum Bripda Yosias Vandesen Dibangga dan Almarhum Bripka Alexander Ndun.
Terdapat juga korban lainnya yang mengalami luka berat yakni Bripka Alva Titaley dan Brigpol Robert Maryen.
Diketahui seluruh korban merupakan polisi asli Papua di Kasonaweja, Kabupaten Mamberamo Raya.
Para pelaku yang sudah menjadi terdakwa sebanyak lima orang berasal dari satuan TNI atas nama Rawin Kambay, Gerson Sarwano, Muhammad Arfan, Ariyanto Andrarias Patanan dan Septiyan Rudi Cahyono.
Koordinator PAHAM Papua Gustaf Kawer melalui release yang diterima fajarpapua.com, Jumat (3/9) mengatakan tuntutan hukum kasus tersebut sangat ringan, sehingga terkesan pengadilan militer melindungi kelima pelaku.
Dijelaskan, proses hukum hingga persidangan menghabiskan waktu 1 tahun 5 bulan yang dinilainya melanggar asas persidangan yang cepat dan murah biaya.
Sidang awal dilaksanakan sejak tanggal 27 Juli 2021 di Pengadilan Militer Jayapura, agenda dakwaan tertunda karena para terdakwa tidak mampu dihadirkan oleh Oditur Militer. Alasannya, terdakwa sebagian masih di Makassar dan sebagian lagi di Merauke.
Waktu demi waktu persidangan kembali ditunda hingga tanggal 8 Agustus 2021 dengan alasan yang sama, para terdakwa masih berada di daerah yang berbeda.
Alhasil, Oditur memohon kepada Majelis untuk memindahkan persidangan ke Kabupaten Merauke agar dekat dengan para terdakwa. Permohonan itu dikabulkan oleh hakim dengan pelaksanaan sidang tanggal 30 Agustus 2021.
Tepat dhari Senin (30/8) sidang akhirnya terlaksana, berlokasi di Pengadilan Negeri Merauke, Oditur membacakan dakwaan terhadap 5 terdakwa atas pelanggaran pasal 358 KUHP tentang penyerangan dengan hukuman maksimum 2 tahun 8 bulan hingga 4 tahun penjara.
Kawer menganggap hukuman itu terlalu ringan. Pasalnya kasus yang dilakukan para terdakwa menimbulkan 3 korban jiwa anggota polisi.
“Pasal tersebut ancaman hukumannya sangat rendah, berkisar antara 2 tahun 8 bulan hingga 4 tahun untuk sebuah kasus yang menyebabkan meninggalnya orang,” bebernya.
Ketidakadilan muncul kembali setelah Oditur mendengar keterangan dari para saksi dari tanggal 30-31 Agustus 2021.
Saksi yang dihadirkan hanya 3 orang sedangkan saksi yang tercantum di berita acara berjumlah 36 orang diantaranya 11 saksi dari TNI, 20 saksi dari polisi dan 5 ahli dari dokter.
“Sedangkan saksi-saksi dan ahli lainnya hanya dibacakan keterangan dalam sidang, tentu sidang ini sangat jauh dari kepentingan mengejar kebenaran materil dalam pengungkapan fakta penembakan para korban,” jelas Kawer.
Sidang lanjutan pun kembali dilaksanakan pada Rabu (1/9). Agenda tuntutan dibacakan oleh Oditur pada pukul 18.55 WIT hingga 20.00 WIT. Dalam uraiannya para terdakwa dinyatakan terbukti melakukan penyerangan terhadap 5 korban diantaranya 3 korban meninggal dunia.
Jaksa memutuskan para terdakwa dituntut atas pelanggaran Pasal 358 Ayat (2) KUHP dengan tuntutan masing-masing, terdakwa I Rawin Kambay 18 Bulan Penjara, terdakwa II Gerson Sarwano 12 Bulan Penjara, terdakwa III Muhammad Arfan 10 Bulan Penjara, terdakwa IV Ariyanto Andrarias Patanan 10 Bulan Penjara dan Septiyan Rudi Cahyono 10 Bulan Penjara.
Tidak sampai disitu, masih ada lagi sidang berikutnya untuk mendengar pembelaan dari penasihat hukum yang ditunda pada hari Kamis (2/9).
Kawer mewakili PAHAM Papua yang juga sebagai kuasa hukum dari keluarga salah satu korban Almarhum Briptu Marchelino Rumaikewi menilai persidangan yang telah terjadi ini sangat jauh dari rasa keadilan korban dan keluarganya.
Dikatakan Kawer, proses persidangan yang memakan waktu 1 tahun 5 bulan tersebut hanya menghasilkan hukuman yang rendah.
Selain itu, kata dia para terdakwa tidak ditahan terlebih dahulu selama sebelum proses hukum ditentukan. Dilain sisi pihak Kodam dan Polda Papua tidak ada komunikasi kepada pihak keluarga korban.
“Pihak Polda yang tidak proaktif untuk menghadiri proses sidang dan bertindak sebagai saksi padahal korbannya adalah anggota dari Kesatuan Polda sendiri. Sebagian besar saksi tidak dihadirkan dalam persidangan, tuntutan yang sangat rendah hingga proses yang sangat jauh dari pemantauan,” ujar Kawer.
Dia menegaskan, selaku lembaga HAM dalam proses hukum di Peradilan Militer tersebut sudah sangat jelas terlihat ada indikasi desain untuk melindungi para pelaku.
“Kami PAHAM Papua, kuasa hukum korban bertindak atas nama keluarga korban Marchelino Rumaikewi berharap hakim memberikan vonis yang maksimal dan hukuman tambahan bagi para terdakwa agar dipecat dari kesatuannya karena sudah menghilangkan nyawa Briptu Marchelino Rumaikewi dan korban anggota polisi lainnya,” pungkasnya. (rul)