Jakarta, fajarpapua.com – Masa pandemi belum usai hingga saat ini. Hampir tiga tahun berlalu bangsa Indonesia dilanda wabah covid-19, yang mengakibatkan pergerakan aktivitas masyarakat terhambat, salah satunya dialami pula oleh masyarakat adat. Namun hal tersebut tidak menyurutkan rasa semangat pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi saat ini.
Berbagai upaya terus dilakukan agar dampak pandemi tidak mengakibatkan terlalu buruk bagi masyarakat, terlebih bagi masyarakat adat. Pemerintah melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi melakukan Mitigasi Masyarakat Adat Terhadap Pandemi COVID-19.
Tujuan itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan pemetaan yang komprehensif mengenai dampak pandemi COVID-19 pada masyarakat adat.
Seperti dikatakan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Sjamsul Hadi dalam kegiatan Bincang Ruang Adat dan Budaya dengan tema “ Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat Terhadap Pandemio Covid-19 Pembelajaran dan Urgensi Perlindungan, bahwa laporan itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran terkait dampak pandemi COVID-19. Selain itu bagaimana upaya adaptasi dan mitigasi (pengurangan dampak/risiko) masyarakat adat di Indonesia yang memiliki karaktersitik berbeda-beda.
“Laporan ini digali dari para pendamping dan anggota masyarakat adat di lapangan selama pandemik. Masyarakat adat seringkali memiliki akses yang sangat terbatas terhadap fasilitas kesehatan modern, seperti rumah sakit, klinik, dan puskesmas,” jelas Sjamsul Hadi.
Terlebih kata, Sjamsul, masyarakat adat juga harus menghadapi tekanan ekologis, konflik lahan, hingga kehilangan sumber daya utamanya.
“Minimnya ketersediaan dan akses terhadap fasilitas dasar kesehatan, penyebarluasan disinformasi terkait pandemi, hingga distribusi vaksin yang tidak merata semakin menambah kerentanan masyarakat adat, khususnya di Indonesia,” lanjutny.
Namun demikian, diluar persoalan ketimpangan struktural di atas, secara alamiah masyarakat adat telah memiliki sistem pertahanan tersendiri yang diwariskan melalui pengetahuan dan praktik-praktik lokal, yang secara langsung maupun tidak langsung bermanfaat dalam menghadapi dampak pandemi COVID-19.
“Laporan ini mencatat beberapa praktik isolasi, menjaga jarak, dan karantina wilayah yang bersumber dari pengetahuan lokal masyarakat adat,” kata Sjamsul.
Sementara Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid dalam sambutannya mengatakan sangat penting dalam strategi penanganan dampak pandemi pada masyarakat adat untuk memperhatikan latar belakang (kekhususan/keragaman) masyarakat adat yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Pentingnya mendokumentasikan pengetahuan dan praktik yang dilakukan masyarakat adat
Bahkan, kata dia, penanganan berbasis karakteristik khusus masyarakat adat ini akan mendorong penanganan pandemi yang lebih berkeadilan, terutama bagi masyarakat adat yang telah memiliki kerentanan sebelum pandemi untuk mendapatkan prioritas penanganan.
“Sedangkan masyarakat adat yang masih tertutup dan telah memiliki sistem pengendalian internal yang kuat, sebaiknya tidak diganggu oleh kedatangan orang luar yang justru akan merusak pertahanan alamiah mereka” jelas Hilmar.
Disisi lain kata Hilmar laporan merekomendasikan pentingnya dilakukan pemetaan yang lebih sistematis dan berkala untuk memotret situasi Masyarakat Adat di Indonesia.
“Pandemi COVID-19 ini memberi pelajaran pentingnya pendataan yang akurat dan waktu nyata, sehingga bisa diambil langkah-langkah yang tepat sesuai situasi dan kebutuhan masyarakat adat yang beragam,” katanya.
“Covid lebih panjang, harapannya gelombang terakhir. Dampaknya luar biasa membuka segi dalam kehidupan kita. Apalagi kelompok masyarakat rentan terkena pandemi ini, tertuama kearifan lokal dan masyarakat dapat karena dia adalah sumber kebajikan. Kita harapkan strategi yang digunkaan masyarakat adat menghddapi pandemic dapat berpihak ke arifan local,” tegas hilmar.
Masyarakat adat, katanya, dengan warisan turun temurun telah memiliki mekanisme dan bekal menghadapi pandemi, misalnya dengan pengetahuan yang memastikan ketahanan pangan dan pengobatan tradisional. Hilmar menjelaskan segala pengetahuan itu penting untuk dicatat dan didokumentasikan, seperti menghadapi situasi pandemi saat ini, sehingga tidak ada satu solusi mutlak yang berlaku untuk semua jenis masyarakat.
Dia juga mendorong masyarakat adat menjadi bagian normal baru yang seharusnya disusun berdasarkan praktik dan pengalaman konkret di akar rumput dan dihidupi oleh filosofi bahwa manusia merupakan bagian dari alam.
“Kita mesti menjadi bagian dari tatanan normal yang baru itu, bahwa baru itu bersandar pada berbagai macam kearifan lokal yang kita kumpulkan, dokumentasikan dan kita buktikan keampuhannya menghadapi situasi, seperti yang kita alami sekarang ini,” kata Hilmar.(wan)