BERITA UTAMAPAPUA

Masyarakat 7 Kampung di Alama Tolak Jadi Bagian dari Kabupaten Nduga

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
10
×

Masyarakat 7 Kampung di Alama Tolak Jadi Bagian dari Kabupaten Nduga

Share this article
Perwakilan tokoh 7 kampung.
Perwakilan tokoh 7 kampung.

Timika, fajarpapua.com – Masyarakat 7 kampung di Distrik Alama yakni kampung Janggelo, Wuarem, Wandud, Purua, Pusue, Geselema dan Kilmit dengan tegas menolak hasil rapat klarifikasi batas wilayah yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Mimika bersama Menteri Dalam Negeri RI pada tanggal 10 Maret 2022 atas status hukum wilayah administrasi pemerintah Distrik Alama Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Pernyataan sikap penolakan penetapan batas wilayah Distrik Alama ini dilakukan di Irigasi, Jalan Pepaya, Sabtu (19/3) oleh 7 kepala kampung, perwakilan tokoh gereja, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan perwakilan mahasiswa.

Dari semua unsur tersebut telah menyepakati menolak batas wilayah antara Distrik Alama Kabupaten Mimika dan Distrik Alama Kabupaten Nduga. Masing-masing juga menandatangani berita acara bahwa 7 kampung tetap berada dalam wilayah administrasi Distrik Alama, Kabupaten Mimika yang sah atas status hukum dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun tanpa melibatkan masyarakat setempat.

Masyarakat 7 kampung dengan tegas menolak sikap Pemerintah Kabupaten Nduga yang mengklaim wilayah administrasi secara sepihak. Masyarakat 7 kampung dengan tegas tetap memilih dan berada di wilayah administrasi Distrik Alama, Kabupaten Mimika. Semua pembangunan fisik yang berada di 7 kampung adalah bukti keseriusan dari pemerintah Kabupaten Mimika dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, pemerintah Kabupaten Mimika dan pemerintah kabupaten Nduga segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait tapal batas wilayah administrasi pemerintah distrik Alama, Kabupaten Nduga dan wilayah administrasi Distrik Alama, Kabupaten Mimika.

Masyarakat 7 kampung sangat bersungguh-sungguh akan bertanggungjawab atas kesepakatan penolakan ini dan menjadi acuan bagi Bupati Nduga dan Bupati Mimika.

Kepala Kampung Jenggelo, Nasil Nirigi mengatakan, pernyataan sikap ini akan dibuat secara tertulis dan lisan serta melalui baliho-baliho sebagai bentuk keseriusan bahwa masyarakat 7 kampung tidak setuju menjadi bagian dari kabupaten Nduga.

Nasil mengungkapkan, warga 7 kampung dilindungi oleh UU NKRI dan data 7 kampung tersebut juga masuk dalam file data sebagai bagian dari warga Distrik Alama Kabupaten Mimika. Namun, sangat disayangkan saat ini diklaim menjadi warga dari kabupaten Nduga dengan keputusan yang diambil sendiri tanpa adanya perundingan atau prosedur yang benar.

Nasil menganggap bahwa selama ini layanan pemerintahan dari Pemkab Mimika aktif di semua bidang di Distrik Alama.

“Untuk itu kami dengan tegas menolak menjadi bagian dari Kabupaten Nduga,” ujarnya.

Selanjutnya Kepala Kampung Wuarem, Jupunus Gwijangge menjelaskan terkait tapal batas wilayah administrasi yang saat ini dibuat Pemkab Nduga tersebut semena-mena dilakukan tanpa izin dari masyarakat 7 kampung.

“Saya menolak dan kami semua menolak dan akan tetap bersama Kabupaten Mimika,” katanya.

Komitmen penolakan ini juga disampaikan oleh lima kepala kampung lainnya yaitu kepala Kampung Wandud, Mirianus Nirigi. Kepala kampung Purua, Es Lokbere. Kepala kampung Pusue, Enias Gwijangge. Kepala kampung Ngeselema, Kuratus Gwijangge serta kepala kampung Kilmit, Mei Tabuni.

Perwakilan Gereja Kemah Injil se Papua di Alama, Pdt Pilemon Wandikmbo mengatakan penetapan batas wilayah yang dilakukan pemerintah Kabupaten Nduga hanya melalui pantauan udara tanpa bertemu dan sepakat bersama masyarakat dan 7 kepala kampung. Dengan demikian, tapal batas wilayah administrasi yang dilakukan tersebut dirasa tidak sah. Sebab, semuanya harus melibatkan semua unsur termasuk pemerintah kampung dan tokoh gereja.

“Itu tidak benar. Dan kami tetap akan menjadi bagian dari Kabupaten Mimika dan itu tidak bisa digugat oleh siapapun. Itu semua ilegal, Kami perwakilan tokoh gereja menolak terkait tapal batas wilayah administrasi yang telah dibuat Pemerintah Nduga,” kata Pdt. Pilemon.

Perwakilan masyarakat, Ratus Gwijangge mengatakan bahwa terkait tapal batas wilayah administrasi yang dilakukan oleh pemerintah Nduga dan perwakilan pemerintah Kabupaten Mimika merupakan Kesepakatan yang dilakukan sepihak di hotel tanpa kehadiran masyarakat.

Menurut Ratus, sejak lama Sebagian besar masyarakat dari Distrik Alam berada di kota Timika dan Sebagian besar lainnya berada di kampung. Sejak lama pula 100 persen masyarakat Alama merasakan pembangunan pemerintah Kabupaten Mimika,sehingga ketika saat ini pemerintah Kabupaten Nduga mengklaim, maka hal itu tidak sah.

Pihaknya meminta agar Pemkab Nduga dan Pemkab Mimika harus membicarakan kembali persoalan ini agar tidak menjadi masalah di tengah masyarakat.

“Jangan jadikan masyarakat seperti bola pimpong. Saya yakin Bupati Nduga tahu selama ini berapa banyak warga Alama yang tinggal di Timika dan sejauh mana pelayanan yang selama ini dilakukan oleh Pemkab Nduga,” ujarnya.

Perwakilan Mahasiswa, Ramlak Mindik menuturkan bahwa selama ini warga 7 kampung terakomodir dalam layanan pemkab Mimika dengan baik. Karena itu, sangat tidak bisa dipindahkan menjadi warga Nduga.

Penetapan terkait tapal batas wilayah administrasi yang terjadi sangat tidak sesuai prosedur lantaran tidak diketahui oleh masyarakat.

“Dengan demikian, atas nama mahasiswa, kamipun menolak menjadi bagian dari Kabupaten Nduga,” tuturnya.

“Apakah di Nduga sudah siapkan fasilitas layanan seperti yang selama ini kami rasakan di Mimika seperti fasilitas kesehatan, ekonomi dan yang lainnya termasuk Perda, karena ini persolan layanan kepada masyarakat. Jadi kami di 7 kampung sepakat tidak akan pindah ke Nduga dan tetap di Mimika,” tambahnya.(feb)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *