Disadur dari Tulisan: Thobias Maturbongs
(Mantan Redaktur Harian Timika Pos)
SABTU, 27 Agustus 2022 sekira pukul 17.30 WIT, dunia pers di Papua dan Kabupaten Mimika khususnya kehilangan salahsatu wartawan senior Yulius O Loppo.
Ya … Om Yoll demikian pria kelahiran 16 Oktober 1964 disapa yang bisa dikatakan sebagai mentor bagi sebagian besar wartawan di Kabupaten Mimika itu menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Mimika karena sakit yang dideritanya.
Rasa kehilangan atas kepergian Om Yoll tidak hanya dirasakan koleganya yang masih aktif, tetapi juga dirasakan mantan koleganya saat mengawali kiprah media massa di daerah ini.
Salahsatunya seperti diungkapkan Thobias Maturbongs, Redaktur di Harian Timika Pos yang semasa itu dipimpin oleh Almarhum Om Yoll.
Thobias yang saat ini berkiprah di Yayasan Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK) dalam unggahannya menuliskan rasa kehilangan yang mendalam terhadap sosok Om Yul.
Dibawah ini tulisan lengkap Thobias Maturbongs yang disadur fajarpapua.com untuk mengenang Almarhum Om Yul.
Awal Tahun 2000, saya dihubungi salah satu wartawan senior Kompas asal Papua, Kaka Nico Korano.
Beliau menyampaikan bahwa Pimpinan Harian Kompas melalui Direktur Kelompok Kompas Gramedia ingin bertemu dengan saya di Jakarta.
Ketika itu saya masih aktif sebagai wartawan Mingguan Tifa Irian. Atas ijin Pimpinan Redaksi Tifa Irian, Kaka Bill Rettob, saya lantas berangkat ke Jakarta dan langsung menghadap Direktur Kelompok Kompas Gramedia, Om Herman Darmo di Markas Kompas Palmerah.
Bersama Om Herman ada sejumlah petinggi Kompas lainnya yang ikut bertemu saya.
Saat itu Om Herman menyampaikan kepada saya bahwa Kompas Gramedia akan bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia membuka satu koran harian di Timika yang namanya Harian Timika Pos.
Saya diajak bergabung dengan Kompas untuk mengelola dan menerbitkan koran tersebut.
Ketika saya diberikan kesempatan bertanya, pertanyaan saya singkat yaitu apakah selain saya, ada wartawan senior lain yang ikut bergabung pada proyek ini? Om Syamsul Kahar sebagai orang dekatnya Pak Jacob Oetama ketika itu menjawab, nanti ada satu wartawan juga yang ikut bersama kamu di Timika.
Om Syamsul lantas menyebut nama Yulius Loppo dan keesokan harinya saya dipertemukan dengan Yulius Loppo.
Awal perkenalan saya dengan Yulius Loppo langsung akrab dan seminggu kemudian saya bersama Yulius Loppo dan sejumlah tenaga dari Kompas terbang ke Timika untuk mempersiapkan penerbitan Harian Pagi Timika Pos edisi perdana.
Tiga bulan lebih saya bersama Yulius Loppo yang biasa kami panggil Om Yol tidur bangun di Graha TDS yang menjadi Markas Timika Pos saat itu.
Banyak suka duka kami jalani bersama, terutama ketika menghadapi tekanan dari berbagai pihak yang belum dan tidak siap dikritik melalui pemberitaan di Koran Harian Timika Pos.
Sekali waktu saya dan Yulius Loppo dipanggil oleh Pak Jacob Oetama menghadap beliau di Jakarta.
Saat kami berdua masuk ke ruangan Pak Jacob, ternyata sudah ada wartawan senior Kompas, Kaka Manuel Kaisiepo yang duduk mendampingi Pak Jacob.
Ketika itu Pak Jacob tidak banyak berbicara, beliau hanya berpesan kepada kami berdua agar jadikan Koran Timika Pos sebagai koran yang bersahabat dengan siapa saja dan jadilah wartawan yang baik sambil menyebut nama Bill Rettob, Manuel Kaisepo, Nicolas Korano dan Octovianus Mote yang merupakan wartawan senior Kompas asal Papua sebagai contoh bahwa mereka adalah wartawan terbaik.
Ini pesan yang sangat berarti buat kami berdua, kata Yulius Loppo kepada saya sesaat setelah kami keluar dari ruangan Pak Jacob.
Dalam menjalankan tugas jurnalistik, saya dan Yulius selalu saling mengingatkan agar semua pemberitaan yang dirilis oleh Timika Pos saat itu tetap memperhatikan apa yang disebut cek and recek.
Saya pribadi juga belajar banyak dari Yulius Loppo tentang ketelitian dalam mengedit berita, jangan sampai ada kesalahan.
Seiring waktu berjalan dan kerjasama antara Kompas dan PT Freeportpun berakhir pada 2003, disitulah saya dan Yulius Loppo ‘berpisah’ sebab saya kemudian diminta oleh LPMAK untuk bergabung bersama LPMAK menerbitkan media internalnya sekaligus merencanakan pendirian Radio Publik Mimika.
Walaupun demikian komunikasi antara saya dan Om Yoll selalu terjaga dan ketika ada waktu, kami selalu ketemu untuk berdiskusi banyak hal.
Satu hal yang saya selalu ingat dari pesan Om Yoll adalah pekerjaan wartawan itu tidak mengenal pensiun kecuali saat tangan tidak bisa lagi menulis dan otak tidak bisa lagi berpikir.
Selamat Jalan Om Yoll, Selamat Jalan Sahabat, damailah di surga bersama para kudus dan doakanlah kami yang masih mengembara di dunia ini. ***