BERITA UTAMAPAPUA

Pentingnya Pelembagaan Pranata Hukum Adat

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
4
×

Pentingnya Pelembagaan Pranata Hukum Adat

Share this article
IMG 20221217 WA0041
Hyero Ladoangin Kiaruma

Oleh: Hyero Ladoangin Kiaruma
(Juru Bicara YLBH Provinsi Papua Tengah)

ads

ASAS legalitas sebagai asas utama dalam pidana mengalami perluasan makna dalam KUHP baru kita.

Pasal 1 ayat (3) jelas dinyatakan bahwa seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) dalam hal tidak diatur dalam KUHP.

Dalam KUHP lama, sebuah perbuatan menjadi tindak pidana hanya ditentukan oleh penguasa melalui UU semata, sedangkan KUHP baru memberikan wewenang kepada masyarakat untuk turut serta menentukan klasifikasi tindak pidana melalui hukum yg hidup dan berkembang dalam entitasnya.

Ini adalah bentuk yg nyata dari semangat de-kolonialisasi KUHP baru. Pengakuan terhadap kearifan lokal. Sudah sejak jaman kemerdekaan, kearifan lokal tidak mendapatkan tempat dalam sistem hukum pidana kita.

Sayangnya KUHP yang baru saja disahkan ini tidak mengatur pranata sistem hukum adat ini akan seperti apa dalam pelembagaannya.

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah akan mengkompilasi delik adat dari Perda-Perda di daerah dimana hukum adat itu hidup.

Nah, sama sekali tidak ada kejelasan kapan Perda ini harus dibentuk, dan apakah Perda tersebut hanya memuat hukum materiil atau juga mengatur tentang hukum formilnya.

Hukum materiil dalam dalam konteks ini adalah kodifikasi terhadap substansi-substansi hukum adat yg ada dan hidup dalam suatu masyarakat adat.

Sedangkan hukum formiilnya adalah pengaturan tentang tata cara beracara, lembaga peradilan adat, sifat putusan pengadilan adat: apakah final and binding atau dapat dilakukan upaya hukum, kemudian jika bisa dilakukan upaya hukum, maka ke lembaga peradilan mana.

Juga akan menjadi menarik nantinya apakah hukum adat menjadi lex specialis , bersifat khusus dan menyimpangi hukum generalis, sebagaimana asas Lex specialis derogat legi generali ; atau menjadi lex consumen , bersifat lebih dominan dan dapat menyimpangi hukum khusus lainnya, sebagaimana asas Lex consumen derogat legi consumte.

Hal-hal seperti ini seharusnya diatur demi menjamin hukum yang berkepastian, berkeadilan, dan memberikan manfaat.

Sementara disisi lain, pidana terhadap pelanggaran delik adat sudah diatur dalam Bab 34 Pasal 601.

Jadi, KUHP sudah mengatur pidana terhadap delik adat, tetapi tidak ada pengaturan tentang bagaimana pidana itu dijatuhkan.

Di sinilah peran pentingnya Perda yang mengatur hukum pidana adat ini.

Sayangnya, KUHP tidak secara tegas mendelegasikan pembentukan Perda secara tegas dalam isi pasal.

Hal ini justru menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan para pembentuk undang-undang dalam mengakomodir hukum adat.

Sudah barang tentu ada kekhawatiran terhadap kapasitas para pembentuk Perda di daerah dalam menghasilkan Perda yang sesuai dengan yang dimaksud oleh KUHP.

Ini tentu berbeda dengan peraturan pelaksana lainnya yg dengan secara expressive verbis diperintahkan pembentukannya paling lama dalam 2 (dua) tahun, seperti misalnya pengaturan tentang pidana mati.

Pembentuk UU seharusnya sangat paham bahwa hukum materiil dan hukum formil harus sinkron pengaturannya. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri.

Pengaturan pidana terhadap delik adat tanpa diatur materi dan cara penegakannya hanya akan mendatangkan ketidakpastian hukum yang baru.

Semua stakeholder, terkhusus kita di Papua yg masih berpegang teguh pada hukum adat seharusnya mendorong agar pemerintah lebih serius dalam menyikapi persoalan ini.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *