Di tengah tantangan pelayanan kesehatan yang kompleks dan mahal, Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK) menunjukkan komitmen kuat dalam meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat Amungme dan Kamoro, lima suku kekerabatan, serta masyarakat Papua lainnya.
Melalui kerja sama strategis dengan 12 rumah sakit rujukan di berbagai wilayah Indonesia, YPMAK memperluas jaring pengaman layanan medis yang menyeluruh dan terjangkau.
Kerja sama ini mencakup rumah sakit-rumah sakit terkemuka seperti RS Dian Harapan dan RS Provita di Jayapura, RS Stella Maris di Makassar, RS Ortopedi Prof Dr R Soeharso di Solo, RS Advent dan RS Borromeus di Bandung. Berikut RS Jantung Harapan Kita, RS Kanker Dharmais, dan RS Siloam di Jakarta.
Beberapa di antaranya merupakan kolaborasi baru, sementara lainnya adalah kelanjutan perjanjian kerja sama yang sudah berjalan dari tahun-tahun sebelumnya.
Penandatanganan perjanjian kerja sama ini bukan sekadar formalitas. YPMAK mengusung tujuan besar: membuka akses layanan kesehatan seluas-luasnya dan menekan biaya rujukan yang kian membebani masyarakat. Sistem rujukan yang dirancang pun kini selaras dengan skema BPJS Kesehatan, memperkuat kolaborasi antara sektor swasta dan publik dalam menjawab kebutuhan riil di lapangan.
“Kalau BPJS Kesehatannya tidak masalah, maka tidak jadi soal. Tapi kalau masalah, maka kami sudah punya payung hukum, yakni adanya kemitraan dengan rumah sakit rujukan,” ujar Wakil Ketua Perencanaan Program, Fery Magai Uamang, menjelaskan alasan penting di balik kerja sama ini.
Lebih lanjut, Fery menjelaskan bahwa 12 rumah sakit tersebut tersebar di kota-kota strategis, termasuk daerah studi para mahasiswa penerima beasiswa YPMAK. Di Bandung misalnya, YPMAK bermitra dengan RS Advent dan RS Borromeus. “Di daerah Bandung dan sekitarnya, YPMAK memiliki 100-an mahasiswa sebagai peserta beasiswa,” tuturnya.
Tak hanya itu, YPMAK juga menjalin kerja sama dengan rumah sakit yang memiliki jaringan luas seperti RS Siloam Group dan RS Primaya Group. “Intinya, pasien atau masyarakat dari 2 suku dan 5 suku kekerabatan lainnya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Dan ini merupakan komitmen serta visi dan misi YPMAK,” ungkap Fery dengan penuh keyakinan.
Langkah ini menjadi semakin relevan mengingat 35 persen pasien yang dirujuk ke luar Mimika adalah penderita kanker—penyakit katastropik yang membutuhkan waktu penyembuhan lama dan biaya tinggi. “Kerjasama dengan RS Swasta selama ini (RS Primaya PGI Cikini dan RS Carolus) berbiaya jauh lebih tinggi dibanding RS pemerintah,” kata Fery.
Selain kanker, YPMAK juga mencatat peningkatan kasus jantung anak dalam dua tahun terakhir. Beberapa kasus yang sebelumnya dirujuk ke RS Primaya atau RS Carolus, pada akhirnya tetap harus ditangani oleh RS Jantung Harapan Kita. Menyadari hal ini, YPMAK pun segera menjalin kerja sama langsung dengan rumah sakit spesialis jantung tersebut.
“Karenanya, YPMAK membuat PKS dengan kedua RS tersebut agar rujukan bisa langsung, dengan maksud untuk menurunkan atau mengefektifkan biaya rujukan,” jelas Fery.
Dalam langkah-langkah konkret ini, terlihat jelas bahwa YPMAK tidak hanya menjadi penyalur dana kemitraan PT Freeport Indonesia, tapi juga pelopor perubahan sistemik dalam layanan kesehatan di Papua dan sekitarnya. Dengan memperluas jangkauan, memperkuat jaringan, dan menyederhanakan prosedur, YPMAK menghadirkan harapan nyata di tengah tantangan yang masih membelit dunia kesehatan di wilayah timur Indonesia. (*)