Masyarakat yang masuk dalam kategori “pemberontak” ini, kata dia, dapat berasal dari individu dengan latar belakang suku, ras, agama, pendidikan dan ekonomi yang beragam.
Ia kembali mengambil contoh di AS di mana ada seorang penulis intelektual ternama, lulusan universitas ternama, juga mempercayai bahwa COVID-19 adalah “hoaks”, artinya “virus infodemik” ini dapat menerpa siapapun.
Mengapa infodemik dapat menyebar dengan luas, menuru dia, dari rangkuman studi-studi yang dilakukan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut:
Ia merujuk data Go Globe yang menyebutkan dalam satu menit, setiap harinya, terdapat 98.000 cuitan Twitter, 1.500 unggahan blog, 168 juta surat elektronik (surel), 600 video baru di YouTube, 70 domain terdaftar, 695.000 status Facebook dan sebagainya.
Hal ini, kata dia, yang membuat setiap individu mengalami kesulitan untuk melakukan filter terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Ia mengatakan untuk meyakinkan individu yang sudah terpapar oleh berita bohong, tidak dapat argumen-argumen yang logis, tetapi dapat dilakukan dengan menampilkam fakta berupa visual.
Karena secara biologis, tubuh lebih mampu menerima informasi berupa visual dengan cepat. Studi akademik menunjukkan bahwa gambar-gambar yang menarik dan selalu ditampilkan secara berulang-ulang akan lebih mudah diingat dan dipercaya, demikian Devie Rahmawati.(ant)