Timika, fajarpapua.com – Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mendatangkan penderitaan bagi masyarakat. Dengan demikian maka cara penanganannya pun harus dengan cara yang luar biasa.
Demikian dikemukakan aktivis hukum Mimika, Hyeronimus Ladoangin Kiaruma terkait belum ditahannya tersangka korupsi Sentra Pendidikan Mimika kepada wartawan, Minggu (28/8).
Menurut Hyero, jika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi maka seharusnya segera dilakukan upaya paksa demi meng-efektifkan proses penyidikan. Ini adalah bagian dari pemenuhan prinsip cepat dan berbiaya murah yang dianut dalam Hukum Acara Pidana.
“Meskipun demikian, prinsip Due Process of Law tetap harus dijalankan. Semua tahapan sebagaimana dimaksud dalam Integrated Criminal Justice System mulai dari proses pra-ajudikasi, ajudikasi, sampai pada pasca-ajudikasi tidak boleh keluar dari koridor hukum acara,” ungkapnya.
Dalam tahap penyidikan misalnya, lanjut Hyero, penetapan tersangka harus didahului dengan gelar/ekspose perkara yang dihadiri oleh pelapor dan terlapor yang tidak boleh diwakilkan.
“Tanpa dihadiri oleh pelapor dan pelapor, maka gelar/ekspose perkara tersebut adalah tidak sah yang berakibat pada tidak sahnya proses penyidikan. Demikian juga ketika status investigasi yang naik dari penyelidikan ke penyidikan yang juga harus didahului juga dengan gelar/ekspose perkara,” paparnya.
Menurut dia, seorang tersangka yang disangkakan dengan Pasal 3 UU Tipikor wajib hukumnya untuk ditahan karena sudah memenuhi syarat subyektif maupun syarat obyektif sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.
“Jadi tersangka korupsi Sentra Pendidikan Mimika mestinya wajib ditahan penyidik,” tutur Hyero.
Kata dia, syarat subyektif penahanan mengacu pada “Teori Khawatir” yakni khawatir akan si tersangka yang mungkin saja melarikan diri, menghilangkan alat bukti, dan/atau mengulangi lagi perbuatannya.
“Tetapi harus diingat bahwa syarat subyektif adalah subyektifitas tersangka, bukan subyektifitas penyidik !! Jadi penahanan harus didasarkan pada sikap, tingkah laku, dan latar belakang tersangka,” katanya.
Dengan kapasitas dan kewenangan yang dimilikinya, ujar dia, seorang pejabat pemerintahan yang jadi tersangka dan tidak ditahan maka besar kemungkinan akan mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hal ini bisa juga dengan motif yang berbeda.
“Berikutnya adalah syarat obyektif yang memberikan batasan berupa tindak pidana yang ancaman pidananya di atas 5 tahun. Syarat ini pun sudah terpenuhi. Status tersangka yang sudah dilabelkan dalam hitungan tahun dan penyidik dengan dalih masih terus mengumpulkan bukti-bukti adalah sangat absurd ketika tersangka tidak ditahan,” paparnya.
Apalagi, lanjut dia, ditambah lagi dengan embel-embel kejahatan luar biasa yang melekat dengan Tipikor, maka seharusnya tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak melakukan penahanan.
“Justru akan menimbulkan pertanyaan baru di masyarakat ada kepentingan apa sehingga penyidik tidak melakukan penahanan,” bebernya.(tim)