Timika, fajarpapua.com – “INILAH moment dimana leluhur kami mempergunakan hajatan ini (Arapao) sebagai pesta pendewasaan pada anak remaja laki-laki menuju kemandirian, sejak dahulu kala dan eksis sampai hari ini,” ujar Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko), Gregorius Okoare saat membuka Pesta adat Arapao di Kampung Nayaro, Distrik Mimika Baru, sejak Jumat (9/9).
Pesta Adat Arapao atau Karapao, hingga kini memang masih sangat dipertahankan oleh warga Suku Kamoro khususnya Nawaripi, Nayaro dan Koperapoka.
Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan dan keyakinan mereka, Arapao atau Karapao adalah momen dimana para leluhur merestui anak-anak dari Suku Kamoro menjadi lebih dewasa dan mandiri serta mulai mampu mengemban tanggungjawab baik sebagai pribadi maupun warga suku.
Inisiasi bagi orang Kamoro dalam upacara Arapao terdiri dari 3 tahap. Menurut tradisi, seorang anak lelaki Kamoro mendapatkan inisasi pertamanya saat berusia 7 atau 8 tahun, inisiasi ke-2 saat sang anak berusia 15 atau 16 tahun.
Pada tahap kedua ini anak lelaki yang dinisiasi? menjual? tapena-nya. Tapena adalah semacam pakaian untuk anak-anak sebagai simbol tauri yang merupakan palm frond atau penutup penis dan sebagai tanda akil baliknya seorang anak laki-laki.
Tahap inisiasi yang ke-3 adalah adalah tahap tambahan yang dilaksanakan hanya setelah sang anak lelaki tersebut telah beranjak dewasa dan siap berumah-tangga.
Pada tahap ini, dalam inisiasi sang pria akan ditandai kepemimpinannya dalam masyarakat dengan melubangi hidungnya.
Lubang hidung yang dibuat bukan untuk dipasangi cincin emas namun sekat yang ada diantara kedua lubang hidung dilubangi sehingga cukup besar untuk ditusukkan taring binatang (seperti babi liar).
Upacara ini dilakukan dalam sebuah bangunan sementara yang berbentuk memanjang, dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu, tiang-tiangnya saling terikat dan atapnya terbuat dari jerami.
Lebarnya kira-kira tiga meter dan panjangnya tergantung pada jumlah pintu. Sedangkan jumlah pintu tergantung pada jumlah anak yang akan diinisiasi.
Bangunan Karapao paling besar yang pernah ada dibangun panjangnya sekitar 30 meter.
Untuk memastikan seorang anak siap melakukan upacara Karapao adalah dengan menyuruhnya menonjok batang pisang.
Jika kesakitan berarti ia belum siap. Upacara yang meriah ini berlangsung beberapa hari? mirip sebuah karnaval. Tifa ditabuh, tarian-tarian dipertunjukkan dan nyanyian yang dipimpin seorang ahli (Ndikiarawe) menggema sepanjang upacara.
Tubuh anak-anak yang akan diinisiasi dilukis dengan jelaga, kapur dan berbagai warna alami yang terbuat dari dedaunan dan biji-bjian.
Tiang-tiang besar diukir menjadi Mbitoro (patung-patung leluhur), dilukis dan dibangunkan dengan mantra-mantra yang diatur oleh Opakawe (tua adat yang memimpin seluruh prosesi upacara).
Dengan gagah Mbitoro diarak keliling kampung sebelum akhirnya diikat di depan Karapao. Pendirian Mbitoro bertujuan mendatangkan kembali kekuatan dan kebijaksanaan dari seorang leluhur.
Semasa hidupnya ia adalah seorang yang kuat, dihormati dan memiliki satu kemampuan khusus.
Misalnya ahli dalam membuat perahu atau berburu yang layak untuk ditiru dan dicontoh oleh anak laki-laki yang diinisiasi ini.
Penduduk kampung akan bergotong-royong mengumpulkan berbagai kebutuhan seperti sagu dalam jumlah yang besar, perempuan-perempuan naik perahu pergi memancing ikan, mencari udang dan kepiting.
Sementara pria-pria dewasa akan pergi membawa anjing terbaik mereka untuk berburu babi hutan ke hulu-hulu sungai. Upacara Karapao yang kedua dilakukan beberapa tahun kemudian. Anak-anak yang diinisiasi akan menukar tapena-nya (pakaian kanak-kanak) dengan dedaunan sebagai pembungkus kemaluannya.
Adapun upacara yang ketiga merupakan tambahan dan dilaksanakan apabila mereka sudah dianggap dewasa, siap untuk berkeluarga.
Pada saat itu, hidung mereka akan dilobangi dan dipasang taring babi. Sejak tahun 1950an, upacara pelobangan hidung ini sudah hilang dari tradisi suku Kamoro.(mas/edy)