Tulisan: Hyeroninus Ladoangin Kiaruma
(Juru Bicara YLBH Papua Tengah)
KONTROVERSI serta adanya penolakan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP menjadi dasar yang urgent untuk dilakukan sebuah perbaikan.
Melihat bagaimana produk hukum pidana yang masih belum maksimal dalam pengaturan maupun penegakkannya dilapangan, maka perbaikan-perbaikan harus dilakukan.
Meski ada pihak berpendapat yang mengatakan bahwa, KUHP yang saat ini berlaku penuh dengan ketidakpastian.
Tapi, apakah KUHP yang sekarang sudah disahkan dapat menjamin kepastian pengaturan, penegakkan maupun implementasinya di lapangan?
Diluar adanya kontroversi yang terjadi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Papua Tengah mencatat ada beberapa substansi yang harus menjadi perhatian publik:
Pertama, Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan merupakan kriminalisasi (baru diatur) dalam KUHP yang baru.
Ini sebagai perluasan terhadap kejahatan yg berhubungan persetubuhan yang tidak wajar.
Dilihat dari optik filsafat hukum, persetubuhan sendiri sebenarnya tidak dilarang.
Yang dilarang adalah variabel-variabel yang menyertainya, misalnya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (pemerkosaan); dilakukan dengan anak-anak, dilakukan diluar ikatan perkawinan, dilakukan dengan yang bukan pasangan sah.
Ada perbedaan diametral dalam masyarakat kita antara yang menghendaki dan yang tidak menghendaki substansi ini diatur, sehingga pembentuk UU mengambil jalan tengah dengan mengkonstruksi norma tersebut sebagai delik aduan absolut yang dinilai cukup akomodatif.
Kedua, penghinaan terhadap Presiden dan lembaga negara yg sebelumnya pernah dicabut oleh MK, meskipun dalam hal ini ada moderasi dengan menjadikannya sebagai delik aduan.
Menempatkan Presiden sebagai “Primus inter pares” dalam konteks ini rasanya kurang pas karena bertentangan dengan asas persamaan di mata hukum (equality before the law).
Penghinaan terhadap lembaga negara pun berpotensi membungkam kritik masyarakat terhadap lembaga yang tidak produktif.
Ketiga, ancaman pidana terhadap penanggung jawab demonstrasi.
Meskipun merupakan delik kumulatif, yakni tanpa pemberitahuan dan adanya kerusuhan/keonaran fisik, tetap saja ada ancaman nyata terhadap kebebasan berpendapat disini.
Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi sehingga tidak seharusnya disangkutpautkan dengan kerusuhan/keonaran. Kalaupun hendak diatur, lebih elok jika diatur tersendiri.
Selanjutnya, sosialisasi terutama kepada para aparat penegak hukum sangat penting dilakukan agar ada persamaan persepsi antara para pembentuk UU dengan eksekutor.
Hukum Acara Pidana seharusnya menjadi hal urgent yang segera diperbaharui dalam rangka penegakan hukum pidana dengan paradigma yang baru.
KUHP baru ini akan berlaku 3 tahun sejak diundangkan. Artinya selama 3 tahun sebelum diberlakukan, sebenarnya sudah bisa dilakukan judicial review karena sudah sah sebagai UU.
Hanya saja diyakini para penggugat akan terhalang oleh legal standing penguji karena pasti tidak ada kerugian yang riil dari penguji karena memang belum berlaku.
YLBH Papua Tengah berharap MK bisa melakukan terobosan dalam hukum acaranya, sehingga pengujian terhadap KUHP baru ini sudah bisa dilakukan.***