Dua tahun kemudian, tepatnya 2016, cerita rakyat yang didapatkan dari budaya tutur, mulai didokumentasikan secara tertulis. Proses pengumpulan cerita berlanjut sebagai bagian pelestarian nilai-nilai budaya dan memahami budaya Kamoro melalui sudut pandang pemilik budaya.
Tahun 2016 – 2017, mendokumentasikan aktivitas budaya dan ritual adat sebagai rekam jejak perjalanan sejarah Kamoro dan bagian kampanye budaya. Memulai program regenerasi seniman berbasis kampung seturut adat berlaku dan melatih tenaga kerja muda di workshop yayasan.
Tahun 2018 – 2019, perluasan promosi budaya Kamoro melalui kegiatan pameran hingga ke luar negeri. Produksi film pendek Maramowe the Kamoro Carver, satu upaya untuk menggugah minat pengukir muda. Film ini terpilih sebagai nominator di beberapa festival dalam negeri.
Tahun 2020 – 2021, melakukan riset lapangan dan literasi untuk membuat file dokumentasi budaya Kamoro versi digital yang akan melengkapi tulisan Dr. Kal Muller. Secara bertahap, data ini akan disajikan kepada publik melalui akun media sosial serta melengkapi bank data yayasan.
Lulu mengatakan, preservasi Budaya Kamoro, seperti halnya suku-suku lain di Papua, Suku Kamoro mewariskan budaya kepada generasi berikut secara verbal.
“Tentunya menjadi rumit ketika pewarisan ini tidak lengkap oleh berbagai kondisi dan terjadinya perubahan pemikiran pelaku dalam proses pewarisan. Makin berkurangnya narasumber yang memahami adat, akulturasi budaya, perubahan gaya hidup, pesatnya arus modernisasi, dan lain hal menimbulkan pergeseran budaya yang berimbas pada menghilangnya akar budaya tradisional,” ujarnya.
Sejumlah kecil catatan sejarah yang dapat menjadi acuan bagi generasi penerus dipublikasikan dalam bahasa asing, kecuali yang ditulis oleh Dr. Kal Muller. Publikasi tersebut tidak sepenuhnya membahas budaya Kamoro dan tidak mudah diakses publik.
Kondisi demikian menjadi pemikiran yayasan untuk membantu seniman Kamoro dalam upaya melindungi, melestarikan dan mengkampanyekan sebagian aspek budaya warisan leluhur mereka.
Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe memiliki program preservasi Budaya Kamoro menyajikan tiga komponen utama, yakni pengumpulan informasi Budaya, pendataan dan pengumpulan informasi budaya dilakukan dengan metode riset dari literasi tertulis yang dapat ditemukan, penggalian informasi dari tua-tua adat sebagai narasumber, serta pengamatan di lapangan saat bekerja dengan para seniman.
“Terjadi kekosongan pencatatan budaya pada sepanjang masa pertengahan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan penelusuran informasi dari tua-tua adat tidak menyediakan data pada masa terjadinya kekosongan. Pengamatan lapangan hanya didapat sepanjang periode dua dasawarsa dimana kami baru mulai berkarya bersama Suku Kamoro.
Sehingga penelusuran sejarah melalui metode ini hanya menyediakan data dalam batasan kurun waktu 20-30 tahun ke belakang,” ujarnya.(bersambung)