Jakarta, fajarpapua.com- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang pendahuluan atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang diajukan oleh Ham Kora, calon anggota legislatif Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, dari Partai Golongan Karya (Golkar).
Sidang Panel 3 untuk Perkara Nomor 53-02-04-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Senin (29/4), dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pemohon mengajukan permohonan pembatalan keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 tahun 2024 yang diumumkan pada hari Rabu (20/3).
Terkait dengan persetujuan DPP Golkar, hingga hari persidangan pertama, pihak Pemohon belum menerima surat rekomendasi.
“Hingga hari ini surat persetujuan rekomendasi dari DPP Golkar belum diterima oleh Pemohon, akan tetapi kami sudah mengajukan permohonan tersebut.” Sucahyo Tukiran, selaku Kuasa Hukum Pemohon.
Lebih lanjut Sucahyo menjelaskan adanya pengurangan suara Pemohon sebesar 200 suara pada TPS 01 Kelurahan Karangsenang, Distrik Kuala Kencana.
Selain itu, ada penambahan suara pada calon nomor urut 5, atas nama Adolf Omaleng pada distrik Tembagapura.
Dalam permohonannya, Kuasa Hukum menyatakan bahwa untuk distrik Tembagapura, Pemohon seharusnya mendapatkan 16 suara sehingga total suara menjadi 1310 surat suara.
Akan tetapi, suara yang diumumkan oleh KPU adalah sebanyak 1122, sehingga terdapat 118 surat suara yang hilang. Selain itu, terjadi penggelembungan suara pada caleg Adolf Omaleng.
Sementara pada sidang Selasa (7/5) digelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon (KPU), keterangan Pihak Terkait, dan keterangan Bawaslu.
Persidangan dilaksanakan oleh Majelis Panel 3 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Termohon (KPU) diwakili kuasa hukumnya, Marfy Marco Yosua Sondakh, di depan majelis hakim menyampaikan eksepsi bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara PHPU tersebut karena Pemohon tidak mendapatkan rekomendasi dari DPP Partai Golkar.
“Pemohon dalam perkara a quo juga tidak memiliki legal standing karena Pemohon tidak memiliki surat rekomendasi dari DPP partai saat mengajukan permohonan ke MK,” jelas Marfy Marco.
Kemudian, Termohon beranggapan bahwa permohonan Pemohon tidak jelas atai obscuur libel. Hal ini dapat menjadi dasar bahwa Permohonan Pemohon tidak dapat dikabulkan.
Oleh karena itu, Termohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar dapat mengabulkan eksepsi Termohon seluruhnya. Selain itu meminta Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Kemudian dalam pokok perkara, meminta Mahkamah memutus benar Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, dan menetapkan benar perolehan suara yang ditetapkan KPU.
Keterangan Pihak Terkait dan Bawaslu
Senada dengan Termohon, Suluh Jagad yang mewakili Adolf Omaleng sebagai Pihak Terkait menyatakan Pemohon tidak memiliki legal standing. Kemudian, isi Permohonan bukan keberatan mengenai Keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 mekainkan Keputusan KPU Nomor 146.
“Kami dari Pihak Terkait berpendapat bahwa permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas karena Pemohon tidak memberikan penjelasan terkait persandingan perolehan suara, dan Pemohon tidak memberikan penjelasan terkait kerugian apa yang dialami oleh Pemohon terkait hilangnya suara tersebut,” sebut Suluh.
Sementara itu, Bawaslu yang diwakili Yonas Yanampa menyebutkan adanya laporan dari peserta Pemilu.
“Hanya saja di Bawaslu Mimika tidak menindaklanjuti keluhan tersebut karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat formil dan materil mengenai dugaan kejadian pengurangan suara,” tegas Yonas. (mas)