BERITA UTAMAMIMIKA

Ajak Warga Pilih Figur yang Memahami Heterogenitas Suku dan Agama di Mimika, Pemerhati Otsus : Wacana Harus OAP Sudah Selesai

280
×

Ajak Warga Pilih Figur yang Memahami Heterogenitas Suku dan Agama di Mimika, Pemerhati Otsus : Wacana Harus OAP Sudah Selesai

Share this article
IMG 20240713 WA0006
Pemerhati Kebijakan Otsus Papua Otis Tabuni

Timika, fajarpapua.com – Pemerhati Kebijakan Otsus Papua Otis Tabuni menegaskan tidak ada aturan khusus bupati dan wakil harus OAP pada Pemilukada Papua 2024. Pernyataan itu menepis adanya isu yang digulirkan di Kabupaten Mimika untuk membodohi masyarakat Papua.

Selanjutnya, Otis mengajak warga Mimika memilih pemimpin yang memahami heterogenitas suku dan agama di Kabupaten Mimika.

Dalam rilis yang diterima fajarpapua.com, Sabtu (3/7), Otis mengemukakan, wacana Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati harus Orang Asli Papua (OAP) sempat menggema di kalangan masyarakat Papua tanpa dasar hukum dan analisa politik. Akibatnya, ada banyak tanggapan sesat di kalangan masyarat soal pencalonan Johannes Rettob putra kelahiran Ipaya, Mimika, sebagai calon bupati berpasangan dengan Emanuel Kemong sebagai calon Wakil Bupati Mimika periode 2024-2029.

“Ada pula menggunakan istilah hak kesulungan OAP dan seterusnya. Pada suatu kesempatan saya berdiskusi dengan nasyarakat yang berbeda di berbeda tempat pula lalu hasilnya saya pastikan banyak masyarakat kita yang telah mengonsumsi/termakan isu tidak benar. Sehingga catatan ini sebagai edukasi publik dengan cara yang cerdas demi kepentingan bersama bagi rakyat Mimika di bumi Amungsa tanah Kamoro yang kami cintai ini,” terangnya.

Ia menjelaskan, pemilihan umum kepala daerah di tanah Papua khusus jabatan bupati/walikota dan wakil tidak menggunakan instrument hukum khusus sebagai lex sepecialis derogate (peraturan khusus yang mengesampingkan peraturan umum). Undang-undang nomor 21 tahun 2001 jo Undang-Undang nomor 2 tahun 2021 tentang otonomi khusus Papua tak dijadikan dasar dan aturan hukum pelaksanaan pemilukada khusunya Bupati dan Wakil Bupati dan Wali kota dan Wakil Wali Kota kecuali Gubernur dan wakil Gubernur. Dasar hukum pemilukada tahun 2024 secara serentak di seluruh Indonesia tentunya karena Amanah UUD 1945 dan perundang-undangan yang kaitannya dengan pemilihan umum.

Dikemukakan, setelah ditelusuri dasar hukum pemilu tahun 2024 tentu ada dua pokok dasar pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Perubahan ini terjadi didasarkan impikasi dari pemekaran provinsi-provinsi di Papua sebagaimana ditegaskan pada poin (a) bagian pertimbangan perubahan dimaksud. Penetapan pengganti peraturan pemerintah dengan UU NO 7 tahun 2023 tentang pemiihan umum tidak ada satu pasal, ayat dan atau poin yang menentukan pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah terutama Bupati wakil Bupati dan wali kota wakil wali kota harus OAP.

Dasar pelaksanaan pemilu kedua adalah Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Termasuk UU No. 6 tahun 2020 tentang penetapan pemerintah pengganti UU No. 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU nomor 1 tahun 2015 dan seterusnya juga tidak memberikan dasar hukum kaitanya dengan pemilu kepala daerah di Papua.

Selanjutnya kaitannya dengan peraturan komisi pemiihan umum nomor 2 tahun 2024 tentang tahapan dan jadwal pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota tahun 2024 tidak ada pasal ayat dan poin tertentu yang diberikan diskresi policy tentang pemilihan kepala daerah tertutama Bupati dan Wakil Bupati, wali kota dan wakil wali kota adalah OAP di tanah Papua.

“Jadi hipotesa yang benar adalah tidak ada dasar hukum pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah di tanah Papua adalah OAP dan atau kesimpulan bahwa tidak ada dasar hukum yang memberikan amanah OAP mutlak jadi bupati dan wakil bupati dan seterusnya di tanah Papua. Sehingga menurut saya wacana ini sudah selesai,” jelasnya.

“Kita generasi yang sudah belajar di masa pelaksanaan Otsus Papua juga belum mengerti, sehingga saya menilai banyak anak muda yang ada di tim pemenangan calon lain melakukan kampanye/membangun isu yang tidak benar. Kasihan Papua Tipu Papua ujung-ujungnya Papua jadi korban,” ujarnya

Dikatakan, ini pendapat hukum atas Kebijakan Otonomisasi Papua berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2021 perubahan kedua atas UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pertama, pasal 28 kaitannya dengan partai politik itu sebelumnya sudah dirasakan oleh kawan-kawannya yang memperjuangkan pembentukan partai politik lokal seperti Aceh padahal tafsiran hukum seperti pasal 28 ayat 1 yang menyatakan “penduduk provinsi Papua dapat membetuk partai poitik.” Tafsiran ayat 1 itu abstrak dan kabur karena tidak ada frasa “lokal”. Kecuali Penduduk provinsi Papua berhak membentuk partai politik “Lokal” barulah sudah pasti dan lama Papua memiliki Partai Politik lokal sama halnya dengan Aceh.

Lalu kenapa MRP dan Asosiasi MRP Papua kali ini mendorong perlu adanya kebijakan hukum sebagai aturan pelaksanaan demi implementasi secara penuh pelaksanaan Otonomi Khusus Papua? hal ini salah satu cacatan yang memberikan kekuatan kepada MRP adalah rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing. Ini ketegasan dari pasal 3 dan 4 UU sebelumnya maupun UU Otsus yang baru. Dilain sisi secara poitik hukum maupun sosiologi hukum ternyata UU Otsus Papua hanyalah kebijakan politik hukum belaka guna membendung gerakan tuntutan kemerdekaan Papua setalah reformasi dan amanademen UUD 1945 secara berturut-turut terjadi di Indonesia pada tahun 1989-2000.

“Saya secara pribadi dan dengan kemampuan yang Tuhan beri untuk saya akan terus melakukan berbagai hal dengan kajian-kajian upaya pelaksanaan Otonomi Khusus Papua sama seperti Otonomi Khusus Aceh. Namun kali ini kaitannya dengan pemilihan umum kepala daerah di Papua dan khususnya di kabupaten Mimika tahun 2024 tidak bisa saya membangun isu yang tidak ada dasar hukumnya. Nanti dapat merendahkan derajat kita sebagai orang-orang yang sudah sekolah dan pintar, itukan logikanya,” tuturnya.

Kedua, apakah UU Otonomi Khusus mengamanatkan syarat dan mekanisme pemilihan Kepala Daerah di Papua tidak untuk Bupati dan Wakil Bupati, kecuai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur disyaratkan berasal dari unsur OAP.

Sebagaimana hal yang sama disampaikan oleh KPUD Mimika bahwa “Sejauh ini belum ada aturan calon Bupati-Wakil Bupati harus orang asli Papua berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021.

“Yang saya sampaikan ini diharapkan bagi masyarakat umum agar hati-hati dengan istilah bupati dan wakil bupati harus OAP. Saya tahu berbagai pihak menginginkan itu, tetapi apa yang saya paparkan ini suatu kebenaran yang tak dapat terbantahkan oleh argument kosong yang diagung-agungkan sebagai tawaran politik yang provokatif. Diharapkan agar rakyat Papua di kabupaten Mimika dan rakyat Nusantara di kabupaten Mimika bersama-sama berdampingan satu sama lainnya menentukan siapa Bupati Mimika mendatang yang memahami heterogenitas suku dan agama di Mimika,” tegasnya.

Ketiga, jika ada yang bertanya MRP sudah berjuang, hasilnya Bupati dan Wakil Bupati harus OAP, ia menjelaskan, bahwa MRP dan Asosiasi MRP bukan merupakan instrument penyelenggara bersama KPU dan Bawaslu. MRP tidak diberikan kewenangan atas kebijakan otonomisasi Papua guna mengubah mengatur, mengintevensi Lembaga pembuat hukum atau DPR RI. MRP berdasarkan tugas dan kewenangannya adalah hanya memberikan pertimbangan, rekomendasi dan sejenisnya setelah memperhatikan penyaluran aspirasi rakyat Papua.

Kewenangan MRP kaitannya dengan perlindungan hak-hak dasar OAP, persoalan martabat, persoalan hak ulayat, persoalan hak-hak perempuan, persoalan hak-hak atas bebas dari segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi sebagaimana yang juga merupakan Amanah konstitusi UUD 1945. Selanjutnya persoalan di pasal 28 ayat 2 dan 4 adalah bagian dari tagungjawab MRP upaya memproteksi hak-hak OAP sehingga secara UU memberikan kewenangan untuk berikan pertimbangan dan rekomendasi kepada partai politik dan seterusnya untuk memproteksi hak politik. Jadi upaya apapun yang kaitannya denga rana perubahan, penambahan, pembentukan dll suatu aturan khusus untuk di Papua bukan kewenangan Majelis rakyat Papua.

Kemudian aspirasi yang diperjuangkan oleh asosiasi MRP Papua kepada pemerintah atau Presiden Joko Widodo adalah bagian dari perjuangan MRP menyampaikan aspirasi rakyat Papua kepada pemerintah pusat guna dipelajari ditelaah, dipahami dan dibahas uang antara pemerintah dan DPR RI untuk kemudian memberikan keputusan baik dalam bentuk PP, atau Kepres. Tapi jangan sampai aspirasi MRP bertentangan dengan UUD 1945 dan Perundang-undangan yang berlaku.

“Beberapa bulan lalu usai tulisan saya yang pernah dimuat dibeberapa media setelah pemilihan legislative adalah saya meminta MRP menggunakan pasal 28 ayat 3 dan 4 UU Otsus Papua untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi guna mendapatkan keputusan apakah diterima atau ditolak atau diterima sebagaimana halnya dengan pemilihan system noken dasar hukumnya adalah putusan MK. Jika MRP meminta ke presiden untuk membuat suatu aturan khusus sebagai aturan pelaksanaan pemilu di Papua, maka kembali lagi kepada Jakarta apakah keberpihakan khusus tang dimaknai Jakarta melalui otonomi khusus hanyalah sebuah slogan blaka,”jelasnya.

Ia menambahkan apa yang sudah ia sampaikan sifatnya edukatif agar tidak terjadi pemborosan.

“Maka kesimpulannya Bapak Johannes Rettob, S.Sos., M.M, memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih sebagai Bupati Mimika periode 2024-2029. Tidak ada suatu aturan hukum apapun yang melarang, membatasi dan menolaknya untuk berpasangan dengan Emanuel Kemong sebagai Bupati dan Wakil Bupati Mimika periode 2024-2029. Jika benar dan pemerintah pusat memberikan kebijakan khusus tentang syarat pemilu kepada daerah di Papua, maka secara otomatis berlaku pemilu di tahun 2029, karena proses Pemilukada saat ini sudah melewati sebagian besar tahapan,” ujarnya.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *