BERITA UTAMAMIMIKApinpost

Ironis, Warga Timika Bebas, Karyawan Tembagapura “Terpenjara”

pngtree vector tick icon png image 1025736
4
×

Ironis, Warga Timika Bebas, Karyawan Tembagapura “Terpenjara”

Share this article
PT Freeport
Para karyawan Freeport dan Privatisasi memblokade jalan. Foto: group FB IKKT

REDAKSIONAL

Tembagapura bergejolak. Komunitas tambang terbesar ketiga di dunia itu ‘digoyang’ aksi unjuk rasa spontanitas para karyawan yang menuntut keadilan dalam situasi pandemik COVID-19.

ads

Aksi unjuk rasa ini, pertama kali dilakukan di Mine Office PTFI Tembagapura.

Merasa tuntutannya diabaikan, aksi berlanjut di MP 72 Ridge Camp berupa pemalangan jalan menggunakan alat berat.

Para karyawan menuntut manajemen PT. Freeport Indonesia menyediakan Bus Shift Day Off (SDO) bagi pekerja yang hendak bertemu keluarga di Timika.

Namun di lain sisi, perusahaan beralasan sesuai nota kesepakatan New Normal ke-3 yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Mimika, wilayah Distrik Tembagapura dan Kelurahan Tembagapura termasuk dalam Zona Merah sehingga masih diberlakukannya Pembatasan Sosial Diperluas dan Diperketat (PSDD).

Kondisi yang dialami komunitas pekerja PTFI, Privatisasi dan Kontraktor di wilayah kerja PTFI dataran tinggi adalah suatu ironi.

Sebagai manusia normal, tentu sangat wajar apabila ada tuntutan karyawan untuk bertemu dengan keluarga setelah 6 (enam) bulan lamanya bahkan lebih “terpenjara” di Tembagapura dan sekitarnya.

Karyawan tidak diperkenankan ke Timika selain cuti. Apa yang dialami para karyawan adalah suatu kondisi sulit.

Sangat dilematis. Siapapun dia yang pernah bekerja dan/atau tinggal di wilayah Tembagapura dan sekitarnya tentu pernah mengalami perasaan seperti ini, jenuh.

Jika kemudian kita membuat perbandingan dengan situasi saat penerapan PSDD di Timika dan sekitarnya di mana penerapan PSDD selama 28 hari saja terjadi begitu banyak pelanggaran yang dilakukan warga akibat tidak betah di rumah.

Keputusan PSDD yang diberlakukan di wilayah Distrik Tembagapura atau lebih khusus Kelurahan Tembagapura sebagai zona merah penularan COVID-19 dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua.

Bila dipandang dari aspek epidemiologi, maka keputusan PSDD nilai tepat sebagai upaya untuk mengurangi bahkan memutuskan mata rantai penularan COVID-19 di wilayah itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *