BERITA UTAMA

Gereja Baptis West Papua Tolak Tim Investigasi Kematian Pdt Yeremias, Sampaikan 5 Rekomendasi

pngtree vector tick icon png image 1025736
5
×

Gereja Baptis West Papua Tolak Tim Investigasi Kematian Pdt Yeremias, Sampaikan 5 Rekomendasi

Share this article

Timika, fajarpapua.com

ads

Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) menolak tim investigasi bentukan Menkopolhukam, MD Mahfud karena dinilai tidak independen dalam penyelidikan kasus tewasnya Pendeta Yeremia Zanabani.

Mereka bahkan menilai para pelaku penembakan juga terlibat langsung dalam tim investigasi.

Dr. Socratez S.Yoman,MA mewakili
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua ketika dihubungi dari Timika, Papua, Senin (5/10) mengemukakan, Pendeta Yeremia Zanabani tewas ditembak anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat korban ke kandang babi miliknya.

Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.

Pembentukan Tim Investigasi dianggapnya hanya mengulangi rekayasa dan sandiwara negara seperti Tim Investigasi yang dibentuk Menkopolhukam pada masa Luhut Panjaitan untuk menyelesaikan 13 kasus pelanggaran berat HAM di Papua.

Dikatakan, pembentukan tim investigasi dari Negara pada tahun 2015 dan 2020 dengan tujuan menghindari tekanan internasional dan menghalang-halangi kunjungan utusan Komisionaris Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ke West Papua dalam rangka memantau langsung keadaan pelanggaran berat HAM.

Kata dia, dalam sidang umum PBB, pemerintah Indonesia selalu tampil defensif dan menyerang serta marah-marah kepada negara-negara yang peduli dan bersuara untuk penghormatan martabat kemanusiaan, keadilan dan perdamaian bagi West Papua.

“Kalau memang tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara, sebaiknya Indonesia membuka ruang untuk perwakilan Komisi HAM PBB berkunjung ke West Papua,” ujarnya.

Menurutnya, kejahatan negara yang berdarah-darah selama 57 tahun, bukan saja Pendeta Yeremia tewas ditangan TNI, ada juga Pendeta Geyimin Nirigi tewas ditembak oleh pasukan elit TNI tanggal 19 Desember 2018 di Distrik Mapenduma. Korban disuruh menggali tanah di belakang halaman rumah dan kemudian ditembak mati dan disiram dengan minyak tanah lalu tubuhnya dibakar api.

Indonesia dengan gemilang melaksanakan operasi militer di era moderen di Nduga sejak 4 Desember 2018 sampai 2020 yang menewaskan 110 orang anak, 38 orang perempuan, 95 orang laki-laki. Lebih kejam lagi pemerintah Indonesia dengan kekuatan militernya dituduh telah menciptakan perang kemiskinan rakyat secara permanen di Nduga lebih khusus dan pada umumnya di West Papua dari Sorong-Merauke.

Dalam operasi militer di Nduga, TNI menewaskan/menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).

Kejahatan dan pelanggaran berat HAM lain yang dilakukan TNI menewaskan Pendeta Elisa Tabuni di Tingginambut, Puncak Jaya pada 16 Agustus 2004. Sebelumnya Pendeta Elisa Tabuni ditangkap, diborgol tanganya dan tewas ditembak oleh pasukan Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Koppasus, Letkol Inf.Yogi Gunawan.

Militer Indonesia yang menewaskan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014:
Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius You dan Yulian Yeimo belum pernah diselesaikan, walaupun Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berjanji pada bulan Desember 2014 untuk penyelesaian tuntas kasus ini.

Tragedi Wamena Berdarah pada 6 Oktober 2000, tercatat ada beberapa kasus pelanggaran HAM berat telah terjadi di Papua. Antara lain (1) Tragedi Biak Berdarah, 6 Juli 1998; (2) Abepura Berdarah, 7 Desember 2000; (3) Wasior Berdarah, 13 Juni 2001;(4) Pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan penghilangan paksa Aristoteles Masoka, 10 November 2001;
(5) Abepura, 16 Maret 2006; (6) Penembakan Opinus Tabuni, 9 Agustus 2008. (7) Penembakan Yawan Yaweni di Serui, 2009 pelakunya anggota polisi.
(8) Penembakan Mako Tabuni, 12 Juni 2012 di Perumbas 3 Waena. Pelakunya Densus 88.

Amnesty International Indonesia dalam pemantauan mencatat dari Februari 2018 – September 2020 terjadi pembunuhan di luar hukum sebanyak 47 kasus dengan 96 korban jiwa. “7 kasus penyidikan yang sedang berlangsung, 14 kasus penyidikan tidak dipublikasikan, 9 kasus tidak ada penyidikan, 5 kasus mekanisme disiplin internal polisi, 1 kasus lewat penyelesaian adat , 2 kasus melalui pengadilan militer, 2 kasus melalui pengadilan pidana, dan 7 kasus dalam proses verifikasi.”

Menurutnya, pemerintah Indonesia gagal menjalankan kewajibannya dalam penegakan HAM di West Papua. Kekerasan Negara yang menyebabkan pelanggaran berat HAM dan tragedi kemanusiaan terus meningkat dari waktu ke waktu dan pelakunya adalah sama yaitu Negara. Para pelaku kejahatan kemanusiaan selalu dilindungi dan mendapat impunitas dari Negara dan juga diakui seperti pahlawan nasional setelah menewaskan rakyat sipil yang tidak berdaya dan bersalah.

Karena itu ada beberapa ekomendasi persekutuan gereja-gereja Baptis Papua.

Pertama, Pemerintah Republik Indonesia membatalkan Tim Investigasi bentukan Negara karena tidak independen dan dalam Tim melibatkan pelaku pembunuhan.

Kedua, Komnas HAM segera membentuk Tim investigasi untuk kasus penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia Zanabani.

Ketiga, Pemerintah Indonesia mengundang Pelapor Khusus PBB untuk berkunjung ke West Papua.

Keempat, Pemerintah Indonesia segera menarik seluruh pasukan TNI non organik dari Tanah West Papua dari Sorong-Merauke.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *