Samarinda, fajarpapua.com – Perjuangan panjang tim bola tangan Provinsi Kalimantan Timur yang bermarkas di “gedung berhantu” yakni bekas Hotel Atlet Stadion Sempaja, Samarinda, akhirnya berbuah manis dengan raihan medali emas pada ajang PON XX Papua.
Tim putri Kalimantan Timur berhasil membawa pulang medali emas usai mengalahkan tim Jawa Barat dengan skor tipis 23-22 pada laga final di GOR Futsal Mimika (14/10).
Sebelumnya tim putra Kaltim telah memastikan posisi juara tiga atau meraih medali perunggu pada cabang bola tangan yang hanya mempertandingkan dua nomor tanding yakni beregu putra dan putri.
Manajer tim bola tangan Kaltim mengaku bersyukur atas pencapaian prestasi tersebut, karena dengan berbagai macam keterbatasan di masa persiapan justru anak didiknya bisa meraih prestasi tertinggi.
“Kami menjalani latihan sehari-hari di Hotel Atlet, banyak orang yang bilang gedung itu menjadi markas hantu, karena sudah bertahun- tahun tidak difungsikan,” kata Suryadi Gunawan dihubungi dari Samarinda, Minggu.
Dia menuturkan bahwa sebelum mendapatkan restu untuk bermarkas di Hotel Atlet tersebut, tempat latihan anak didiknya selalu berpindah-pindah lokasi, terkadang di lapangan futsal, GOR Segiri, dan tempat terbuka lainnya ketika kedua tempat tersebut digunakan untuk kegiatan lain.
“Kami baru masuk di Hotel Atlet sekitar tahun 2019, kondisinya masih miris tidak ada lampu penerangan, tempatnya masih kotor bahkan saluran air pun tidak ada. Makanya saat kami meminta izin kepada Gubernur Kaltim Isran Noor, beliau bertanya kenapa kalian latihan di gedung berhantu itu,” beber Suryadi.
Awalnya Hotel Atlet tersebut dibangun oleh Pemerintah Provinsi Kaltim sebagai sarana tempat menginap atlet kontingen luar daerah saat PON ke-18 di Kaltim.
Usai perhelatan PON, gedung enam lantai tersebut sempat digunakan sebagai markas atlet Kaltim dalam persiapan menuju PON 2012 di Riau dan setelah itu juga digunakan pelatnas atlet SEA Games untuk beberapa cabang olahraga.
Memasuki tahun 2013 praktis hotel yang terletak di komplek Stadion Madya Samarinda itu sudah tidak ada aktifitas.
Pada era pemerintahan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak hotel tersebut sempat ditawarkan kepada swasta untuk mengelola.
Namun, Grand Elty Group yang digadang akan mengelola hotel atlet itu akhirnya mundur dan belum ada pihak lainnya yang berminat untuk menjadi pengelola.
Selama bertahun-tahun bangunan megah bernilai puluhan miliar rupiah tersebut akhirnya mangkrak dan beberapa fasilitas hotel seperti AC atau kabel saluran listrik hilang dijarah pencuri.
Saat siang hari bangunan hotel tersebut masih menampakkan kemegahan bila dilihat dari luar gedung dan ada sejumlah aktifitas masyarakat di kawasan Stadion Madya karena ada perkantoran Dinas Pemuda dan Olahraga Kaltim, atau kegiatan olahraga joging pada sore hari.
Namun memasuki malam hari, khususnya di sekitar Hotel Atlet tersebut terlihat seram karena tidak adanya lampu penerangan, sehingga masyarakat takut mendekati sekitar kawasan hotel.
Suryadi mengatakan, dengan gotong royong para atlet dan pelatih, lobby utama hotel yang mempunyai aula besar itu dibersihkan untuk digunakannya sebagai tempat dan markas latihan.
“Sebenarnya tidak representatif untuk latihan karena lantainya masih berkeramik, sementara lapangan handball menggunakan lantai karpet, jelas resikonya kaki pemain banyak yang lecet usai latihan,” urai Suryadi.
Suryadi mengaku bersyukur para atlet tidak mengeluhkan keadaan, mereka sadar sebagai cabang olahraga baru tentunya perlu perjuangan dan kerja keras untuk meraih kesuksesan.
Mengenal dari Olimpiade Seoul
Suryadi Gunawan dikenal masyarakat Kaltim dan juga nasional sebagai pegulat. Kiprahnya di cabang bela diri ini tidak diragukan lagi karena beberapa kali menjadi juara PON, SEA Games dan bahkan pernah ikut Olimpiade.
Saat berlaga di Olimpiade Seoul, Korea Selatan tahun 1988 inilah Suryadi mengenal bola tangan. Saat itu, kata Suryadi, handball menjadi olahraga yang cukup trend bagi masyarakat Korea Selatan.
“Olahraga ini lebih berat dari basket karena luas lapangannya lebih besar dan juga resiko terjadi benturan antar-pemain. Saat itu saya berpikir olahraga ini cocok untuk melatih para pegulat muda khususnya dalam membentuk fisik,” beber Suryadi.
Dia mulai mengenal lebih dekat dengan bola tangan saat kuliah di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 1998 karena ada mata kuliah cabang olahraga tersebut.
“Saat itu saya sudah mulai mengenalkan bola tangan di Kaltim, namun sayangnya kurang mendapatkan respon, dan kepengurusan di tingkat pusat juga terjadi dualisme sehingga semakin susah untuk dikembangkan di daerah,” tutur Suryadi.
Empat tahun kemudian, pada jajaran tingkat pusat mulai ada pembenahan struktur organisasi dengan terbentuknya Asosiasi Bola Tangan Indonesia (ABTI).
Suryadi mengaku mendapatkan mandat untuk membentuk organisasi tersebut di daerah dan bersama dengan mahasiswa IKIP PGRI Kaltim olahraga tersebut disosialisasikan hingga pelosok daerah.
“Sebagai cabang olahraga baru kami merasa sulit mengembangkan diri di wilayah kota, makanya saat itu kami sasar wilayah pelosok. Di sana kami mencari atlet dan terus kami adakan kejuaraan,” imbuh Suryadi.
Pelatih bola tangan Kaltim, Eldi Saputra menjadi saksi perjuangan tim bola tangan Kaltim mulai dari titik nol hingga berbuah medali emas PON XX Papua.
“Kami mengikuti kejurnas pertama kali tahun 2014 di Jakarta, saat itu dengan menggunakan biaya pribadi, sejumlah kekurangan dana diupayakan melalui sponsor oleh Babe Suryadi Gunawan,” kenang Eldi.
Saat kejurnas itulah turut diberangkatkan atlet junior untuk mengikuti kejurnas U-19, dan bertepatan pula agenda seleksi atlet untuk timnas junior sebagai proyeksi tim SEA Games dan Asian Games.
“Ada sepuluh atlet Kaltim masuk timnas Asian Games 2018 ditambah satu pelatih, dan pada saat SEA Games Filipina lolos lagi tiga atlet dan satu pelatih masuk timnas,” jelas Eldi.
Eldi menceritakan perjalanan sulit saat membangun olahraga hand ball di Kota Samarinda bersama rekannya di kampus IKIP PGRI Kaltim Joni Seprianus, Darmansyah dan Fajar Febri.
“Selain Babe Suryadi, ada tiga teman yang ikut berkiprah bersosialisasi dan sekaligus mencari atlet yakni Joni, Darmansyah dan Fajar,” terang Eldi.
Gadis Risma Septiananda, kapten tim putri Kaltim sebagai generasi kedua di bola tangan Kaltim, ternyata juga ikut merasakan suka duka berkiprah di cabang olahraga yang belum familiar di masyarakat itu.
“Sering dapat cemooh teman kenapa ikut olahraga ini, tapi saat saya bisa masuk timnas Asian Games, baru banyak teman yang mengapresiasi,” tutur Gadis.
Dia mengaku tidak percaya saat bisa membawa pulang medali emas ke Kaltim, karena timnya memang bukan unggulan untuk menjadi juara.
“Motivasi pelatih dan juga Babe Suryadi membangkitkan semangat kami, apalagi saat kita tahu rekan putra gagal meraih tiket final, semangat kami kian berlipat untuk menjadi juara,” kata Gadis.
Wakil Ketua III KONI Kaltim, Muslimin menyatakan salut dengan perjuangan tim bola tangan Kaltim meraih emas pada PON XX Papua.
“Prestasi yang diwujudkan murni dari pembinaan, karena semua atletnya merupakan atlet lokal dengan dilatih dan dibina mulai dari nol untuk menjadi juara,” jelas Muslimin.
Dia berharap semangat yang tertanam di cabang bola tangan ini bisa menginspirasi cabang olahraga lainnya untuk terus maju dalam melakukan pembinaan olahraga di daerah. (ant)