Jayapura, fajarpapua.com – Komnas HAM RI Perwakilan Papua mencatat sebanyak 40 kasus kekerasan terjadi di berbagai wilayah Tanah Papua sepanjang Januari hingga 12 Juni 2025.
Dari 40 kasus itu, peristiwa kontak senjata dan penembakan (serangan tunggal) mendominasi dengan 27 kasus, disusul penganiayaan 11 kasus, pengrusakan 1 kasus, dan kerusuhan 1 kasus. Satu peristiwa bisa mengakibatkan lebih dari satu bentuk kekerasan.
Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits B. Ramandey menjelaskan, jumlah tersebut berdasarkan hasil pemantauan media serta data dalam Sistem Pengaduan HAM (SPH).
“Dari total kasus tersebut, Kabupaten Yahukimo mencatat jumlah tertinggi dengan 8 kasus, disusul Intan Jaya 7 kasus, Puncak Jaya dan Kota Jayapura masing-masing 5 kasus, Puncak dan Jayawijaya masing-masing 3 kasus, Yalimo dan Paniai masing-masing 2 kasus, serta Kabupaten Jayapura, Nabire, Teluk Bintuni, Dogiyai, dan Kota Sorong masing-masing 1 kasus,” ujar Frits Ramandey, Minggu (15/6/2025).
Salah satu kasus yang mendapat perhatian serius adalah penembakan terhadap Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua sendiri, Frits B. Ramandey, yang diduga dilakukan oleh anggota kelompok sipil bersenjata, Manuel Muuk, saat memantau pencarian Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, Iptu Tomi S. Marbun, di Distrik Moskona Barat, Teluk Bintuni pada 24 April 2025.
Akibat kekerasan tersebut, tercatat 75 orang menjadi korban: 50 orang meninggal dunia dan 25 luka-luka. Dari jumlah itu, 11 orang merupakan anggota TPNPB–OPM (10 meninggal, 1 luka), 16 orang aparat keamanan (5 meninggal, 11 luka), dan 48 orang warga sipil (35 meninggal, 13 luka).
Berdasarkan wilayah, Provinsi Papua Pegunungan mencatat jumlah korban tertinggi dengan 25 meninggal dunia dan 9 luka-luka, disusul Papua Tengah (21 meninggal, 9 luka), Papua (2 meninggal, 7 luka), dan Papua Barat Daya (1 meninggal).
Frits menyebut konflik kekerasan yang terjadi merupakan respons atas dinamika sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Namun, ia menekankan perlunya ruang dialog antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan kelompok sipil bersenjata seperti TPNPB-OPM.
“Tantangan utama bagi Pemerintah RI adalah membangun kepercayaan rakyat Papua dengan menghadirkan persamaan, kesetaraan, serta penegakan hukum yang adil dan non-diskriminatif untuk mewujudkan ekosistem damai dan membuka ruang dialog kemanusiaan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kondisi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) yang masih belum memadai. Sepanjang semester I 2025, Komnas HAM mencatat 22 kasus yang berpotensi melanggar HAM, terdiri atas 9 kasus agraria, 4 kasus lingkungan hidup, 3 kasus ketenagakerjaan, 2 kasus kelaparan, 2 kasus kesehatan, 1 kasus pendidikan, dan 1 kasus pengabaian hak kelompok rentan.
Salah satu kasus menonjol adalah aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang telah direspons Komnas HAM melalui Keterangan Pers Nomor: 29/HM.00/VI/2025.
Komnas HAM juga menerima banyak aduan dari warga terkait dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke. Frits menilai siklus kekerasan yang merenggut nyawa dan terus meningkat harus menjadi perhatian serius semua pihak.
“Komnas HAM mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk segera membentuk Tim Penyelesaian Konflik Kekerasan di Tanah Papua sebagai langkah konkret penyelesaian kekerasan yang menyebabkan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Frits meminta pemerintah menjamin keamanan seluruh warga negara di Papua dengan pendekatan non-militer dan membenahi tata kelola keamanan berbasis sosial budaya serta kearifan lokal.
“Kami juga meminta gubernur, bupati/wali kota se-Tanah Papua menjalankan program afirmatif yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk aspek ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan,” sambungnya.
Ia pun meminta para Kapolda se-Tanah Papua menindak pelaku kekerasan secara cepat, tepat, dan profesional, menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM.
Frits juga menyerukan kepada aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata (TPNPB-OPM) agar menghormati hukum HAM dan hukum humaniter, serta tidak menjadikan warga sipil sebagai sasaran kekerasan atau menciptakan ketakutan dan stigmatisasi.
“Komnas HAM mendesak Pemerintah RI dan TPNPB-OPM membangun komitmen dalam proses dialog kemanusiaan demi terwujudnya Papua Tanah Damai,” pungkasnya. (hsb)