BERITA UTAMAMIMIKA

Ribuan Warga Mimika Wee Bersama Anak Cucu Perintis Antar Salib Berukuran Raksasa ke Atapo, Ritual Pra Misa Rekonsiliasi

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
15
×

Ribuan Warga Mimika Wee Bersama Anak Cucu Perintis Antar Salib Berukuran Raksasa ke Atapo, Ritual Pra Misa Rekonsiliasi

Share this article
Salib raksasa yang diantar diiringi tifa dan tari.
Salib raksasa yang diantar diiringi tifa dan tari.

Timika, fajarpapua.com – Ribuan warga Mimika Wee diiringi tabuh tifa dan gerak tarian adat, bersama Anak Cucu Perintis (ACP) berarak mengantar salib ke Atapo Kokonao, Distrik Mimika Barat, Sabtu (23/4/2022).

Ritual pengantaran salib ini merupakan rangkaian proses rekonsiliasi Mimika Wee yang puncaknya digelar Minggu besok.

Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo menjelaskan, dalam Gereja Katolik, rekonsiliasi merupakan sakramen pertobatan, pengakuan dosa dan pemulihan.

“Pemulihan dari keadaan sebelumnya yang terganggu, rusak dan putus. Sekarang ini mau dipulihkan. Manusia dalam hidup, ada yang bikin dosa, kesalahan. Kutukan-kutukan yang mengganggu hidup Mimika Wee, di dalam Yesus mau dipulihkan,” jelasnya.

Pada puncak rekonsiliasi, ada tiga upacara dalam Gereja Katolik. Pertama, ritus pengakuan pertobatan atas segala hal yang mengikat atau mempengaruhi Mimika Wee di mereka yang pernah tinggal di Mimika.

Kedua, liturgi sabda atau firman yaitu mendengar sabda-sabda Tuhan di dalam Alkitab. Ketiga, perayaan ekaristi dan penanaman salib.

Marthen berharap, dengan rekonsiliasi ini, Mimika Wee memulai hidup baru dalam Kristus, tanpa beban.

Soal perubahan penyebutan dari Kamoro ke Mimika Wee katanya merupakan wilayah adat yang diputuskan oleh masyarakat setempat.

Ketua Panitia Rekonsiliasi, Dominikus Mitoro bercerita penggunaan nama Kamoro bermula pada musyawarah adat (Musdat) di tahun 1996. Penggunaan nama ini terkait erat dengan gelontoran dana satu persen PT Freeport Indonesia.

Padahal dalam rentang sejarahnya, warga yang hidup di pesisir disebut Mimika Wee. kata Mitoro, sebutan Mimika Wee bahkan dimulai sejak Portugis datang.

“Mimika itu, artinya arus dari gunung. Tapi bukan disini saja. Orang Mimika itu, semua sungai itu dari gunung. Sehingga mereka katakan bahwa kalau begitu dari timur sampai Barat itu orang Mimika,” kisahnya.

Secara harafiah, sebutan Mimika Wee juga dinilai lebih merepresentasikan pola hidup masyarakat yang menempati bagian pesisir Kabupaten Mimika. Kata Kamoro sendiri berarti, orang hidup.

“Ingat, bahwa orang Mimika itu tidak pernah bikin kampung di tengah hutan. Tapi Kampung itu selalu ada di pinggir sungai karena orang Mimika itu dengan filosofi adalah 3 S, yaitu sungai, sampan, sagu,” kata Mitoro.

Perubahan sebutan ke Mimika Wee katanya sudah jadi wacana dan keinginan warga. Selama penggunaan sebutan Kamoro, Mitoro melihat masyarakatnya tinggal di tempat dalam semua sektor kehidupan.

“Kami berfikir selama nama ini Kamoro, kita tetap tinggal ditempat, kita tidak bergerak kemana-mana. Dalam hal apa saja. Baik itu di pembangunan, jabatan pemerintahan sampai gereja. Anak-anak kita misalnya tidak ada yang pergi sekolah sebagai pastor dan sebagainya,” ungkapnya.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *