BERITA UTAMAMIMIKA

Panggil Roh Lelulur, Di Sini Asal Muasal Nama “Mimika”, Ternyata Pertamakali Terucap dari Mulut Tetua Kampung Wakatimi, Simak Kisahnya

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
38
×

Panggil Roh Lelulur, Di Sini Asal Muasal Nama “Mimika”, Ternyata Pertamakali Terucap dari Mulut Tetua Kampung Wakatimi, Simak Kisahnya

Share this article
IMG 20220430 WA0028
Benediktus Kereyau (celana kuning) saat menabuh tifa.

Timika, fajarpapua.com – Dilupakan sayang. Ritual Rekonsiliasi Mimika Wee yang dilaksanakan pekan lalu di Kokonao masih menyisahkan sejumlah kisah menarik.

Menggali makna ritual adat orang Mimika (Mimika Wee) pada hajatan itu, wartawan fajarpapua.com berhasil mewawancarai salah satu tokoh sentral di Kampung Mimika sekaligus Mantan Kepala Desa – Kampung Mimika, Kecamatan Kokonao tempo dulu.

Dialah Benediktus Kereyau (73) tahun. Pria berbadan jangkung itu, pernah menjabat sebagai kepala Desa Kokonao pada tahun 1988 – 1992. kembali lagi dipercayakan oleh masyarakat untuk memimpin Pemerintahan di Kampung Mimika di tahun 1992 hingga 2014 (24) tahun bersama 4 tambahan Kampung Pemekaran.

Pada tahun itu, Kecamatan Kokonao hanya satu desa, yakni desa Mimika. Desa atau kampung lainnya ada pada wilayah tetangga seperti halnya sekarang di Ipaya, Amar, Uta, Pronggo, dan Potowayburu di Bagian Barat.

Diceritakan, untuk melaksanakan acara atau Kakuru dalam bahasa Mimika, biasanya tradisi yang tinggalkan sejak turun temurun adalah ritual adat memanggil moyang-leluhur untuk ikut serta dalam kakuru yang dibuat oleh masyarakat adat.

Saat sudah memanggil roh leluhur itu, maka roh tersebut akan ikut serta dalam sebuah hajatan yang dilaksanakan. Seperti apa permohonan, harapan, bisanya dimintai restu dari para leluhur itu.
Hal tersebut berlaku untuk seluruh Taparu, atau Wilayah Adat masing-masing Kampung dari Nakai sampai Potowayburu.

Seperti halnya Kampung Mimika di Kokonao, kampung atau Taparu asal, itu berada di sisi Kepala Air Kokonao. namanya Wakatumi. Wakatami adalah asal Taparu awal bagi Orang Mimika yang sekarang berada dan berdomisili di Kampung Mimika Distrik Kokonao.

Dari Kampung Wakatimi ini pula, istilah Mimika pertama kali keluar dan terucap dari orang tua terdahulu dengan sebutan Mumuika, akibat kontak sosial dagang awal dengan pelaut Portugis.

Seiring berjalan waktu, setelah masuknya Belanda, Indomelayu, bahasa Mumuika yang berarti air kabur/berbusa itupun kemudian diubah untuk mempermudah pengejaan, pelafalan menjadi Mimika.

Benediktus menceritakan, syair-syair lagu yang dinaikan untuk menjemput, roh leluhur itu, biasanya dimainkan secara bersama-sama para warga masyarakat. Kemasan lagu – lagu itu, diikuti dengan pukulan tifa dan gong.

Dalam budaya Mimika, seperti halnya suku-suku lainya di Papua sampai dengan pasifik, budaya ini dikenal dengan Tarian Tifa Duduk.

Tifa duduk sendiri berarti pukulan Tifa dengan cara kaki bersilang pada posisi duduk, sementara lagu dinyanyikan.

Lagu-lagu yang dipanjatkan itu, umumnya diketahui oleh orang-orang tua sebagai bentuk persembahan kepada leluhur, alam dan Tuhan akan kebesaran menciptakan Bumi serta seisinya dan juga menempatkan manusia diatas tanah untuk menguasai dan mengolahnya.

Biasanya, lagu dinaikan sejak awal Tuhan mencipatakan cakrawala, gunung, lautan serta segala isinya. Makanya tidak heran terdengar kalau yang disebut dengan tifa duduk, ialah lagu yang akan dimainkan sampai fajar menyingsing.

Sebagai contoh, para tetuah adat, akan menyanyikan, mengagungkan lagu tentang burung, ikan, sampai pada bagaiman Tuhan meletakan mereka dari atas gunung, laut, sampai dengan meletakan beberapa satwa diatas pasir atau tanah.

Dari penjelasan diatas, pembaca fajarpapua.com akan menyimak, memaknai seperti apa orang Mimika itu. Bagaimana kedekatan mereka dengan sang Khalik, alam, serta segala isinya.

Sehingga, sejalannya waktu, melalui Mlmomen rekonsiliasi kemarin, orang Mimika tidak kebetulan atau bermain-main dengan Aladat dan ogama.

Orang Mimika akan bangkit dari segala keteringgalan dan keterpurukan yang selama di ini terjadi di Kabupaten Super Kaya Mimika ini.

Menurut Benediktus, sejak awal penciptaan, lautanlah yang melihat dan disinari oleh cakrawala lebih dahulu. Baru kemudian matahari akan memantulkan cahaya ke gunung-gunung dan lembah.

Singga Benedektus berpesan kepada semua warga Nusantara di Kabupaten Mimika, dan juga kedua Propinsi di Tanah Papua, orang Mimika lah yang datang dan membawa terang sejak awal mula. Di kabupaten Mimika lah banyak suku berdatangan mengais rejeki, mematok tanah, bahkan menyabotase harkat dan martabat, jati diri orang Mimika.

Dimata batin Benediktus, melalui momen sakral, penggunaaan kain kuning dan putih itu, orang Mimika sudah bernazar kepada Tuhan, alam, leluhur serta sesama manusia, bahwa orang Mimika akan bangkit dari segala keterpurukan.

Kalau saat ini, Benediktus mencontohkan Banyak Orang di Papua punya uang, punya jabatan. Tetapi, itu bukan penghalang untuk membatasi orang Mimika. Karena, uang dan jabatan yang mereka tempati, duduki, punyai, itu juga berasal dari Kabupaten Mimika, melalui usaha mereka baik ataupun tidak.(edy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *